Thaharah dan Abjeksi: Mencuci Tubuh Menyentuh Jiwa
Rabu malam, 9 Juli 2025, saya menghadiri Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman yang diasuh oleh Pak Fahruddin Faiz. Suasana kajian seperti biasa terasa hangat meskipun topik malam itu cukup berat. Kami membahas pemikiran salah satu tokoh besar dalam dunia intelektual Islam, yaitu Syah Waliyullah al-Dihlawi dengan tema Harmoni Syari’at dan Hakikat, edisi Neo-Sufisme.
Syah Dihlawi dikenal sebagai pemikir yang mempertemukan ilmu syariat, tasawuf, dan pemikiran rasional Islam. Saya datang tanpa ekspektasi yang muluk, hanya ingin menyimak dan mencatat beberapa hal. Namun malam itu saya justru dibawa pada perenungan yang lebih dalam dari dugaan saya.
Salah satu poin yang paling membekas dalam ingatan adalah saat pembahasan menyentuh konsep thaharah atau penyucian. Dalam pandangan umum, thaharah biasanya dipahami sebagai kebersihan fisik. Membasuh najis, berwudhu, mandi setelah junub, dan sebagainya. Namun menurut Syah Dihlawi, thaharah bukan hanya perkara teknis dalam menjaga kebersihan tubuh. Thaharah merupakan jalan spiritual menuju penyucian jiwa, simbol bahwa manusia sedang bersiap untuk menghadap Sang Pencipta.
Sedikit bercerita, sebagai seseorang yang tumbuh dalam tradisi pendidikan agama yang sederhana dan konvensional, saya merasa cukup bingung sekaligus tercengang. Sejak kecil saya diajarkan bahwa najis harus dihilangkan sampai benar-benar bersih. Tidak boleh ada sisa bau, warna, atau rasa. Bahkan guru ngaji saya dulu akan menegaskan pentingnya memastikan najis tidak tertinggal sedikit pun. Namun dalam praktik wudhu atau tayamum, kita justru tidak selalu membasuh bagian tubuh yang terkena najis. Bahkan kita bisa berwudhu meskipun najisnya masih menempel di baju. Kita juga diperbolehkan bertayamum hanya dengan debu, tanpa air dan tanpa basuhan yang nyata.
“Lalu mengapa begitu?”
Jawaban dari Syah Dihlawi memberi perspektif baru. Menurutnya, inti dari thaharah bukan terletak pada aspek fisik semata, melainkan pada kesiapan jiwa. Thaharah adalah isyarat bahwa seseorang sedang bersiap untuk berpindah dari kondisi duniawi menuju kesadaran akan kehadiran Ilahi. Ia adalah tindakan simbolik yang membangkitkan niat, perhatian, dan kerendahan hati. Kita membasuh tubuh untuk mengingat bahwa kita juga perlu membasuh batin. Bahkan bisa jadi, tubuh kita bersih tetapi jiwa kita penuh kotoran berupa iri hati, hawa nafsu, dan kemunafikan.
Dari titik itu, pikiran saya langsung mengingat kembali satu bacaan lama dari dunia filsafat modern, yaitu konsep abjeksi dari Julia Kristeva. Kristeva adalah seorang pemikir perempuan asal Bulgaria yang menulis banyak gagasan dalam bidang psikoanalisis dan filsafat budaya. Ia memperkenalkan konsep abjeksi sebagai salah satu konsep dalam filsafat khususnya pada bidang estetika. Abjeksi adalah sesuatu yang menjijikkan dan mengganggu, bukan karena zatnya itu sendiri, melainkan karena ia menggoyahkan batas identitas manusia dan menganggu psikis dan mental manusia.
Bagi Kristeva, abjek muncul ketika sesuatu yang sebelumnya dianggap bagian dari diri kita menjadi asing dan menakutkan. Contohnya darah, muntah, kotoran, atau bahkan mayat. Apa yang membuat hal-hal itu menjijikkan bukanlah keberadaannya, tetapi karena ia membangkitkan kesadaran bahwa tubuh ini bisa rusak, bisa bocor, bisa hancur. Ketika darah mengalir keluar dari tubuh, kita melihat betapa rapuhnya kita. Perasaan jijik muncul karena kita dihadapkan pada ancaman hilangnya keutuhan diri.
Abjeksi, menurut Kristeva, adalah pengalaman psikis yang menyentuh batas antara kehidupan dan kematian, antara identitas dan kehancuran. Maka rasa jijik bukan hanya perkara tubuh atau kebersihan, tetapi juga menyentuh ruang yang sangat dalam dari pengalaman manusia sebagai makhluk yang sadar akan kefanaannya.
Di sinilah saya mulai melihat adanya benang merah yang menghubungkan pemikiran Syah Waliyullah al-Dihlawi dan Julia Kristeva. Meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, yang satu dari khazanah spiritual Islam dan yang lainnya dari pemikiran psikoanalitik Eropa modern. Keduanya sama-sama berbicara tentang bagaimana manusia merespons hal-hal yang mengguncang batas identitas dirinya.
Syah Dihlawi menekankan bahwa manusia memiliki fitrah kerinduan untuk kembali pada kesucian, untuk membersihkan dirinya dari segala kekotoran batin demi mendekat kepada Yang Mahasuci. Di sisi lain, Kristeva menunjukkan bahwa manusia menyimpan ketakutan mendalam terhadap segala sesuatu yang menjijikkan, karena hal-hal tersebut mengancam batas antara diri dan bukan diri. Ia mengungkap bahwa perasaan jijik bukan hanya reaksi spontan terhadap kotoran fisik, tetapi cermin dari kegelisahan eksistensial yang muncul ketika identitas kita terguncang.
Keduanya seolah mengajarkan hal yang serupa dari arah yang berbeda: bahwa najis dan suci bukan sekadar urusan fisik, melainkan perkara yang menyentuh dimensi psikis, spiritual, dan eksistensial manusia. Baik dalam bentuk ketakutan maupun kerinduan, manusia terus-menerus berada dalam ketegangan antara yang ingin ia jaga (kesucian) dan yang ingin ia tolak (kejijikan).
Saya pun merenung, mungkinkah selama ini kita terlalu sibuk merawat dan membersihkan tubuh, tetapi lupa bahwa kekotoran yang paling mengancam justru tersembunyi di dalam hati? Mungkinkah rasa jijik yang kita arahkan pada sesuatu di luar diri sebenarnya mencerminkan rasa takut terhadap kehancuran dan kerentanan yang ada di dalam diri kita sendiri?
Thaharah menurut Syah Dihlawi adalah latihan spiritual untuk membersihkan batin dari keburukan. Ia adalah proses kesadaran diri dan pembentukan jiwa agar lebih tenang dan jernih ketika menghadap Allah. Sementara abjeksi menurut Kristeva adalah bentuk kegelisahan yang muncul dari dalam jiwa ketika batas diri terganggu. Jika kita padukan, maka bisa disimpulkan bahwa penyucian diri tidak hanya melibatkan tubuh, tetapi juga pikiran, perasaan, dan kesadaran eksistensial kita.
Maka bersuci, pada akhirnya, bukanlah pelarian dari kekotoran, melainkan cara manusia berdamai dengan keterbatasannya. Ia bukan hanya rutinitas atau dalam aspek yang berwujud lahiriah, tetapi peristiwa simbolik yang bersifat batiniah dan bisa membawa kita pada pemahaman lebih dalam tentang siapa kita. Kesucian sejati bukanlah tubuh tanpa noda, melainkan hati yang jujur, pikiran yang bersih, dan kesadaran akan kerapuhan sebagai manusia.
Ngaji Filsafat malam itu membuat saya berpikir, barangkali selama ini saya telah memandang wudhu dan tayamum secara teknis belaka, yang penting bersih. Fokus saya tertuju pada hilangnya najis, lenyapnya bau, dan terpenuhinya syarat sah ibadah. Padahal di balik itu, keduanya menyimpan makna yang jauh lebih dalam. Wudhu dan tayamum bukan semata-mata tindakan fisik. Ia bisa menjadi momen untuk membasuh jiwa yang rindu pada kesucian lahir dan batin.
Perenungan ini membawa saya pada satu pemahaman yang sederhana, namun menyentuh: bahwa bersih adalah urusan lahiriah, sedangkan suci mencakup lahir dan batin. Bersih dapat dicapai dengan air dan sabun, tetapi kesucian memerlukan kejujuran, kesadaran, dan niat untuk mendekat kepada Tuhan. Dalam kesucian, tubuh dan jiwa berjalan seiring, tidak hanya tampak rapi di luar, tetapi juga teduh dan tenang di dalam.
Saya pulang malam itu dengan satu pertanyaan yang terus bergema dalam hati: apa yang sebenarnya kita bersihkan saat berwudhu?
Category : catatan santri
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-8 Desember 2024