Sumpah Pemuda dalam Perspektif Islam: Semangat Persatuan dan Iman

slider
28 Oktober 2025
|
676

Peringatan Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober setiap tahunnya merupakan momentum penting dalam sejarah nasional Indonesia. Ikrar para pemuda pada 1928 itu menandai titik balik kesadaran nasional, di mana semangat kebangsaan dan persatuan menjadi dasar perjuangan menuju kemerdekaan. Dalam konteks keislaman, nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda sejatinya memiliki koherensi kuat dengan ajaran Islam, khususnya mengenai persaudaraan (ukhuwwah), persatuan (ittihad), dan cinta Tanah Air (hubb al-watan). Islam memandang persatuan umat sebagai pilar kekuatan peradaban, sebagaimana bangsa Indonesia menemukan kekuatannya melalui persatuan lintas suku, agama, dan budaya.

Latar Historis dan Semangat Persatuan Pemuda

Sumpah Pemuda 1928 lahir dari kesadaran kolektif pemuda Indonesia yang menyadari pentingnya membangun identitas nasional di tengah kolonialisme yang memecah belah. Dalam Kongres Pemuda kedua di Jakarta, mereka mengikrarkan tiga janji monumental: bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia.[1]

Semangat persatuan ini bukan hanya fenomena politik, tetapi juga manifestasi nilai spiritual yang dalam. Dalam Islam, persatuan merupakan prinsip fundamental yang menegaskan kesatuan umat di bawah kalimat tauhid. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 103:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ

Artinya, “Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai…”.[2]

Ayat ini menjadi dasar teologis bagi pentingnya menjaga kesatuan dalam ikatan nilai Ilahiah. Dalam konteks bangsa Indonesia, tali Allah (habb minal Allah) dapat dimaknai sebagai nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan yang menjadi fondasi moral bangsa. Dengan demikian, Sumpah Pemuda sejalan dengan perintah Islam untuk menghindari perpecahan dan membangun solidaritas sosial berdasarkan iman dan kebajikan.

Persatuan dalam Perspektif Islam

Konsep persatuan dalam Islam tidak sekadar bersifat sosiologis, melainkan teologis dan etis. Islam menolak segala bentuk fanatisme kesukuan (‘ashabiyyah) yang menimbulkan perpecahan. Nabi Muhammad Saw bersabda:

عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

Artinya, “Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme kesukuan (‘ashabiyyah), bukan dari golongan kami orang yang berperang atas dasar fanatisme kesukuan, dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena fanatisme kesukuan.” (HR. Abu Dawud no. 4456).[3]

Hadis ini menunjukkan bahwa Islam menempatkan ukhuwah sebagai prinsip yang melampaui identitas ras, etnis, maupun kelompok. Nilai ini paralel dengan semangat Sumpah Pemuda yang meniadakan sekat-sekat primordial dan menegaskan identitas tunggal: bangsa Indonesia. Lebih jauh, Al-Qur’an menegaskan bahwa keberagaman manusia merupakan sunnatullah yang harus dikelola dengan hikmah dan keadilan:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ

Artinya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman bukan alasan untuk saling menjauh, melainkan untuk saling mengenal dan membangun harmoni sosial. Maka, semangat Sumpah Pemuda sejatinya adalah bentuk nyata dari implementasi nilai qur’ani tentang keberagaman dan persaudaraan.

Pemuda sebagai Pilar Perubahan dan Pembawa Nilai

Dalam pandangan Islam, pemuda memiliki posisi strategis sebagai agen perubahan (agent of change). Rasulullah Saw bersabda: “Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya; salah satunya ialah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah.[4]

Hadis tersebut menunjukkan betapa pentingnya peran pemuda dalam menjaga moralitas dan kemurnian niat dalam perjuangan. Pemuda yang beriman dan berilmu menjadi garda terdepan dalam membangun masyarakat yang adil, berakhlak, dan berperadaban.

Dalam konteks Sumpah Pemuda, peran para tokoh muda—di antaranya—seperti Mohammad Yamin, Soegondo Djojopuspito, dan Wage Rudolf Supratman menjadi bukti bahwa pemuda mampu menafsirkan semangat zamannya secara visioner. Mereka menggabungkan semangat kebangsaan dengan nilai-nilai moral universal yang selaras dengan ajaran Islam, yaitu keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan.

Cinta Tanah Air dalam Bingkai Keimanan

Ungkapan populer “Hubbul wathan minal iman” (cinta Tanah Air bagian dari iman) memang tidak berasal langsung dari hadis sahih, namun maknanya sejalan dengan prinsip Islam yang mendorong umatnya mencintai lingkungan, masyarakat, dan bangsanya.[5] Dalam konteks keindonesiaan, mencintai Tanah Air berarti menjaga martabat bangsa, melestarikan keadilan sosial, dan menghindari perpecahan.

Imam Al-Ghazali dalam Iḥya’ ‘Ulum al-Din menegaskan bahwa menjaga kemaslahatan umat adalah bagian dari kewajiban agama.[6] Oleh karena itu, pengabdian pemuda terhadap bangsa, baik melalui pendidikan, penelitian, maupun karya sosial merupakan bentuk nyata dari ibadah dan cinta Tanah Air yang berlandaskan iman.

Dengan demikian, Sumpah Pemuda tidak hanya dapat dibaca sebagai gerakan politik, tetapi juga sebagai manifestasi etika religius dalam konteks perjuangan sosial. Dalam pandangan Islam, perjuangan di jalan kebenaran (jihad fi sabilillah) tidak selalu berbentuk peperangan, tetapi juga mencakup perjuangan membangun masyarakat yang berkeadilan dan berilmu.

Refleksi: Membangun Indonesia dengan Spirit Islam

Makna Sumpah Pemuda bagi umat Islam bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan panggilan moral untuk melanjutkan perjuangan dalam kerangka nilai Islam. Tantangan pemuda saat ini bukan lagi kolonialisme fisik, melainkan penjajahan intelektual, budaya, dan moral. Dalam menghadapi era digital dan globalisasi, pemuda muslim perlu menghidupkan kembali nilai-nilai ukhuwah, amanah, dan istiqamah sebagai panduan moral.

Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”[7] Hadis ini menegaskan orientasi sosial dari keimanan. Pemuda yang meneladani semangat Sumpah Pemuda dalam bingkai Islam berarti berkomitmen untuk menjadi insan yang bermanfaat bagi bangsa dan umat.

Pendidikan karakter islami menjadi kunci agar semangat Sumpah Pemuda tidak hanya dikenang secara simbolik, tetapi diaktualisasikan dalam tindakan nyata. Pendidikan yang menumbuhkan iman, ilmu, dan amal akan melahirkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara spiritual dan sosial. Dengan demikian, cita-cita Sumpah Pemuda dan nilai-nilai Islam bertemu dalam satu titik, yaitu menjadi bangsa yang bersatu, beriman, dan memiliki peradaban.

Sebagai penutup, Sumpah Pemuda bukan sekadar dokumen sejarah, melainkan pernyataan moral dan spiritual yang relevan sepanjang masa. Dalam perspektif Islam, semangat persatuan, cinta Tanah Air, dan perjuangan pemuda adalah bagian dari nilai keimanan yang harus terus dijaga. Islam mengajarkan bahwa kekuatan umat dan bangsa terletak pada persaudaraan dan keadilan. Maka, memperingati Sumpah Pemuda berarti memperbarui komitmen untuk membangun Indonesia dengan semangat keislaman yang rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam.

Referensi:

Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad.

al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Adhan, No. 660; Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Zakah.

al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002.

https://quran.nu.or.id/

Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Imarah.

Soegondo Djojopuspito, Pidato Kongres Pemuda II, 1928, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1978.

Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wataniyyah wa al-Muwatanah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2009.

 

[1] Soegondo Djojopuspito, Pidato Kongres Pemuda II, 1928 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1978), 14.

[2] https://quran.nu.or.id/ali-imran/103.

[3] Muslim ibn al-Hajjaj, Sahiḥ Muslim, Kitab al-Imarah, no. 1848.

[4] al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Adhan, no. 660; Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Zakah, no. 1031.

[5] Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wataniyyah wa al-Muwatanah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009), 55.

[6] al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 110.

[7] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, no. 23409.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Alfi Sahrin Al Gulam Lubis

Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang magang di Lini Media Masjid Jendral Sudirman