Segala Sesuatu Nyaris Politis

slider
27 Oktober 2025
|
807

Barangkali ada waktu-waktu kita ingin percaya bahwa hidup bisa berjalan tanpa unsur politik. Bahwa memasak, memilih warna baju, mendengarkan lagu, mencintai, bahkan menyendiri, bisa berlangsung tanpa campur tangan kekuasaan, tanpa gangguan ideologi, tanpa sorotan norma. Kita mendambakan ruang yang steril dari wacana dan nilai, sebuah tempat bening di mana segala sesuatunya bergulir sebagaimana adanya. Tapi barangkali ruang semacam itu tak pernah benar-benar ada. Ia hanya mitos yang kita pelihara demi kenyamanan.

Sebab betapa banyak hal yang tampak sepele ternyata menyimpan keputusan-keputusan ideologis. Ketika seorang perempuan memilih untuk tidak menikah, reaksi masyarakat tak berhenti pada keheranan. Ia merembes menjadi kecemasan moral, seolah keputusan pribadi itu mengancam tatanan. Seorang siswa berambut mullet pun bukan sekadar mengikuti tren atau ingin terlihat “keren”—ia sedang menegaskan haknya atas tubuh, identitas, dan kebebasan berekspresi di tengah norma sekolah yang ingin menundukkannya.

Politik, kata Harold Lasswell dalam buku Politics: Who Gets What, When, How (1936), adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Tapi bahkan sebelum definisi itu lahir pada awal abad ke-20, manusia telah hidup di dalam sistem distribusi kekuasaan: suara, perhatian, dan keheningan. Politik menentukan siapa yang layak didengar, siapa yang pantas dimarahi, siapa yang mesti bersabar. Ia menata kursi makan malam, menyusun hierarki dalam keluarga, dan menentukan siapa yang boleh tidur tenang malam ini, serta siapa yang mesti tetap berjaga.

Mereka yang mengatakan muak terhadap politik sering kali adalah mereka yang tak pernah benar-benar kehilangan privilese. Mereka ingin menjauh dari “drama politik” sambil duduk di kursi empuk warisan kolonialisme atau kelas menengah kota; tak sadar bahwa kemewahan untuk “tidak peduli” adalah kemewahan itu sendiri. Ketidaktertarikan pun lahir dari proses yang politis: hasil dari represi yang diwariskan, trauma yang diturunkan, atau kelelahan yang dipelihara oleh sistem.

Pada abad ke-19, di Eropa, pakaian dalam perempuan mulai menjadi bagian dari perdebatan moral dan medis. Sebelum masa itu, sebagian besar perempuan tak mengenakan “drawers” atau “pantalettes”; tubuh bagian bawah dilindungi oleh rok berlapis-lapis dan norma kesopanan yang ketat. Ketika pakaian dalam mulai dipakai, dokter dan teolog memperdebatkan fungsinya: apakah ia menjaga kesopanan, atau justru mengundang imajinasi cabul? Dalam pandangan zaman itu, tubuh perempuan adalah ladang moral yang mesti dikontrol. Maka, pakaian bukan sekadar pelindung, tetapi instrumen disiplin sosial—menentukan bagaimana tubuh harus ditata, dibungkus, disembunyikan. Tak berlebihan jika hari ini, ketika seorang perempuan memilih mengenakan atau menanggalkan jilbab, keputusan itu disebut “berpolitik”—bahkan ketika ia menganggapnya sekadar urusan pribadi.

Kita hidup dalam dunia yang terus meyakinkan bahwa politik adalah sesuatu di luar diri. Padahal, politik justru mengalir di dalam diri: di intonasi suara, di cara menatap, di susunan kata, dalam isyarat tubuh yang tampak sederhana. Di dunia digital, politik bekerja dalam algoritma: siapa yang muncul di linimasa, siapa yang dibungkam oleh kebijakan, dan siapa yang dihapus diam-diam. Bahkan tombol “like” adalah bagian dari peta kekuasaan yang baru—penentu visibilitas, peneguh arus dominan.

Lalu orang bertanya: jika segalanya politis, di mana ruang bagi yang murni? Pertanyaan itu lahir dari kerinduan pada kesucian, para netralitas. Tapi netralitas, seperti unicorn, tampaknya sama-sama fiktif belaka. Bahkan cinta, yang dianggap paling murni, tak brojol dari ruang hampa. Siapa yang kita cintai, bagaimana kita mencintai, kapan kita menikah atau tidak—semuanya dibentuk oleh kelas, ras, gender, dan norma sosial yang menebarkan bayangan sejak mula.

Di sebuah desa kecil, seorang ibu menyuapi anaknya sambil mendengarkan radio. Di antara iklan deterjen dan lagu nostalgia, terdengar berita tentang konflik tanah. Sang ibu mungkin tak paham istilah “agraria”, tapi ia tahu harga beras naik, pasar semakin jauh, dan anaknya perlu makan nasi. Di ruang itu, politik tak tampil sebagai teori. Ia hadir sebagai udara—tak kasatmata, tapi menentukan hidup dan mati.

Maka barangkali tugas kita bukan memisahkan mana yang politis dan mana yang tidak, melainkan menyadari bagaimana politik bekerja dalam keseharian: dalam bisik tetangga, dalam kurikulum sekolah, dalam lagu anak-anak, dalam simbol yang diwariskan tanpa ditanya. Segala sesuatu adalah arena tafsir, dan tafsir adalah bentuk kekuasaan.

Bahkan sebuah peta, meski tampak netral dan objektif, sejatinya selalu memuat pilihan dan kepentingan. J.B. Harley dalam Deconstructing the Map (1989) menekankan bahwa peta bukan representasi netral; ia adalah alat kekuasaan dan ideologi, yang membenarkan klaim politik, menegaskan hierarki, dan membentuk cara manusia memandang dunia. Dalam peta Mercator abad ke-16, misalnya, Eropa tampak jauh lebih besar daripada Afrika dan Amerika Selatan. Persoalan tersebut bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi simbol dominasi. Di ruang kelas, kita diajari siapa yang “menemukan” benua, seolah benua itu kosong sebelum kedatangan penakluk.

Dekolonisasi, sebab itu, bukan sekadar mengusir penjajah dari tanah, tapi membongkar cara pandang yang mereka tanamkan. Siapa yang menulis sejarah? Siapa yang menentukan mana seni tinggi dan mana seni rendahan? Siapa yang menyusun buku pelajaran, dan siapa yang dihapus dari halamannya? Politik adalah tentang suara, tapi lebih sering tentang siapa yang dipadamkan.

Dalam musik, kita mengenal istilah “arus utama”. Tapi siapa yang menentukan arus itu? Mengapa dangdut dianggap kampungan? Mengapa karya sastra berbahasa daerah jarang menembus pasar nasional? Bukan semata soal selera atau kualitas, melainkan sistem distribusi: penerbitan, media, kebijakan bahasa. Bahkan rasa indah pun dibentuk oleh kekuasaan—ia adalah hasil dari konsensus sosial yang dikendalikan.

Kita bisa berjalan lebih jauh, ke dapur. Siapa yang memutuskan bahwa nasi adalah pangan utama bangsa? Mengapa sagu, yang dahulu menopang kehidupan di banyak wilayah Nusantara, perlahan tersingkir? Di meja makan, ada pertarungan narasi: antara negara dan lokalitas, antara modernitas dan tradisi. Di dapur, politik bekerja dalam pembagian kerja: siapa yang memasak, siapa yang makan lebih dulu, siapa yang membersihkan. Tak ada yang netral di sana.

Lalu, lebih jauh lagi—ke kamar mandi. Ruang yang dianggap paling pribadi, paling “alami”, tempat manusia kembali pada fungsinya yang purba. Tapi bahkan di sana, politik beroperasi diam-diam. Cara kita buang air besar pun dibentuk oleh kelas sosial, arsitektur, dan konsep modernitas yang lahir dari sejarah kolonial dan industrial.

Kloset duduk, misalnya, menjadi simbol kebersihan dan kemajuan di kota-kota. Sementara posisi jongkok—yang di banyak budaya Asia dianggap wajar dan bahkan lebih sehat secara medis—sering dianggap kuno. Di sinilah politik tubuh bekerja: siapa yang berhak duduk, siapa yang harus jongkok. Sejarah jamban adalah juga sejarah hierarki.

Di banyak negara kolonial, termasuk Hindia Belanda, perbedaan akses sanitasi menjadi tanda kelas dan ras. Toilet bersih hanya untuk pejabat atau orang Eropa; rakyat jelata dan pribumi menggunakan sungai atau lubang tanah. Bahkan setelah merdeka, warisan hierarki itu bertahan: akses air bersih dan sanitasi masih menjadi indikator ketimpangan sosial. Di mal, kita membayar untuk kebersihan. Di kampung miskin, sungai menjadi satu-satunya pilihan. Air kotor di satu sisi kota bisa menjadi air minum di sisi lain.

Bau pun menjadi bahasa kelas. Parfum mahal menutupi tubuh yang dianggap aib, sementara mereka yang tak mampu membeli wewangian dicap “jorok”. Bau menjadi moral; kebersihan menjadi kapital simbolik. Toilet—ruang paling manusiawi dari semua ruang—berubah menjadi cermin sosial: siapa yang berhak bersih, siapa yang mesti kotor. Tubuh yang duduk di marmer dan tubuh yang jongkok di tanah becek sama-sama rapuh, tapi sistem telah membuat satu di antaranya lebih tinggi.

Barangkali di situlah ironi paling dalam dari modernitas: hal yang paling purba dan sejajar di antara manusia—pengosongan tubuh—telah dijadikan ajang penegasan kelas. Foucault dalam Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975) dan The History of Sexuality (1976) benar sekali lagi: kekuasaan tak bekerja semata dari atas, tapi menembus tubuh, mengatur cara kita duduk, cara kita menunduk, bahkan cara kita menyiram. Politik beroperasi dalam banalitas keseharian, tapi di sanalah ia paling efektif.

Tubuh adalah medan pertempuran. Tubuh perempuan, tubuh hitam, tubuh pekerja, tubuh disabilitas, tubuh queer—semuanya pernah dan masih berjuang untuk diakui keberadaannya. Bahkan untuk sekadar hadir tanpa dikoreksi. Dalam tubuh, politik menemukan bentuk paling nyata: siapa yang diatur, siapa yang boleh bebas, siapa yang boleh sembuh, siapa yang dibiarkan sakit.

Ada pepatah klasik mengatakan bahwa tak ada yang lebih menakutkan dari ketidaktahuan yang sistematis. Kini kita tahu, ketidaktahuan bukanlah akibat kebodohan, melainkan hasil sistem yang dirancang untuk membuat kita tak tahu. Kita dijejali informasi tanpa konteks, diajari teknik tanpa nilai, dibanjiri data tanpa imajinasi. Di sanalah politik bekerja: dalam pengetahuan, dalam kurikulum, dalam algoritma.

Namun politik bukan hanya tentang mengatur atau melawan. Ia juga tentang membayangkan. Tentang dunia yang mungkin: tempat anak-anak bermain tanpa takut, cinta tak tunduk pada norma hetero-patriarkal, dan makanan dinilai bukan hanya dari kalorinya, tapi dari kisah yang dibawanya. Dunia di mana yang kecil boleh bicara, dan yang besar belajar tahu diri.

Spivak pernah bertanya: Bisakah subaltern berbicara?

Tapi kini kita tahu, pertanyaannya bukan hanya itu. Yang lebih penting adalah maukah kita mendengarkan?

Maka kita sampai pada kesadaran yang paling sederhana dan paling berat: segala sesuatu adalah politis. Pilihan kita, diam kita, tubuh kita, bahkan cara kita menatap dan bernapas—semua adalah medan pertarungan. Di medan itu, kesadaran adalah senjata yang paling berguna. Hidup tidak pernah lepas dari kekuasaan dan keputusan. Dan bagi mereka yang bisa melihat, setiap langkah adalah politik, setiap detik adalah tanggung jawab, dan setiap napas adalah kesempatan untuk berkata: aku hadir, aku memilih, aku menolak dibisukan.


Category : kebudayaan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Mochammad Aldy Maulana Adha

Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Seorang Pengarang; Founder Gudang Perspektif; Editor-Ilustrator Omong-Omong Media; & Penerjemah paruh-waktu. Bisa disapa melalui: email-genrifinaldy@gmail.com; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma.