Refleksi atas Spiritualitas di Zaman Serba Cepat
Dunia modern adalah dunia yang bergerak dengan kecepatan tinggi, didorong oleh laju teknologi, kapitalisme global, dan ideal tentang efisiensi. Kita hidup dalam sistem yang menjunjung tinggi produktivitas, percepatan, dan keberhasilan yang terukur. Waktu bukan lagi ruang hidup yang luas, melainkan garis lurus yang terus mendesak kita untuk maju, tanpa benar-benar memberi tempat bagi keheningan. Di tengah kondisi ini, manusia berubah menjadi subjek yang terfragmentasi: tercerai dari dirinya, terputus dari alam, dan terasing dari dimensi spiritual keberadaannya sendiri.
Di dunia seperti ini, spiritualitas yang sejati menjadi sesuatu yang asing. Sebab spiritualitas membutuhkan waktu yang lambat, ruang yang sepi, dan keberanian untuk tinggal dalam kekosongan. Tapi dunia modern tidak memberi kita waktu untuk lambat. Ia memandang keheningan sebagai kemalasan, kekosongan sebagai ancaman, dan kesunyian sebagai kegagalan komunikasi. Kita hidup dalam jaringan yang terus menyala, dalam konektivitas yang tidak pernah tidur. Dalam keadaan itu, bagaimana mungkin kita bisa mendengar bisikan jiwa?
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi dominan turut memainkan peran dalam komodifikasi spiritualitas. Logika pasar masuk ke dalam ruang yang sebelumnya bersifat batiniah. Kita mulai melihat bagaimana produk-produk religius dijual tidak untuk membentuk makna, tetapi untuk menciptakan rasa puas yang cepat. Kita melihat “barang-barang sacral” yang dijajakan seperti jimat, ruqyah dalam bentuk semprotan, doa dalam bentuk stiker, dan kesucian yang dibungkus dalam paket promosi. Spiritualitas dipasarkan sebagai gaya hidup: ringan, cepat, dan mudah dicerna.
Tentu, tidak semua bentuk spiritualitas modern harus kita curigai. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika spiritualitas kehilangan kedalaman karena hanya dilihat sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan emosional jangka pendek. Spiritualitas instan ini menyesuaikan diri dengan dunia modern, bukan sebagai kritik terhadapnya. Ia menjadi refleksi dari ketergesaan zaman, bukan perlawanan terhadap zaman. Ia tidak lagi membebaskan manusia, tetapi justru mengafirmasi struktur sosial yang membentuk keterasingan manusia dari dirinya sendiri.
Fenomena ini menghasilkan bentuk spiritualitas baru yang tidak lagi berpijak pada pencarian makna yang transendental, tetapi pada pencarian pengakuan sosial. Kesalehan bukan lagi sesuatu yang lahir dari kesadaran batin, melainkan sesuatu yang harus terlihat. Harus tampil. Harus diakui. Kita melihat bagaimana simbol-simbol religius dikomodifikasi; bagaimana gaya hidup spiritual dijadikan merek; bagaimana acara-acara keagamaan dikemas layaknya konser atau tontonan massal, lengkap dengan sorotan kamera dan tepuk tangan penonton.
Segala sesuatu yang dahulu bersifat sakral kini dijamah oleh logika pasar dan budaya populer. Barang-barang yang “disakralkan” dijual dengan janji kemanjuran; pengalaman religius dibingkai agar bisa dibagikan di media sosial. Shalawat yang dulu adalah laku batin kini menjadi panggung hiburan. Ruqyah menjadi konten, garam ruqyah diperdagangkan dengan harga yang menggiurkan. Spiritualitas menjadi kemasan yang harus menarik mata dan memuaskan hasrat akan pengakuan.
Akibatnya, pengalaman spiritual tidak lagi mengakar pada kedalaman batin, tetapi menjadi semacam kosmetika jiwa. Kita menghias diri dengan simbol-simbol ketakwaan, tetapi lupa menanyakan: dari mana makna itu berasal? Apakah kita sungguh merasa terhubung dengan yang transenden, atau sekadar mengikuti arus agar tak tertinggal? Perlahan, ritual keagamaan kehilangan rohnya. Ia dijalankan bukan sebagai laku pembentukan batin, melainkan sebagai tuntutan sosial. Bukan karena rindu, tapi karena takut dianggap absen.
Padahal, spiritualitas sejatinya adalah ruang jeda. Ia adalah momen ketika kita berhenti dari hiruk-pikuk, mengambil jarak dari dunia, dan bertanya: siapa kita, dan untuk apa kita ada di sini? Spiritualitas bukan sekadar penenang sesaat, melainkan jalan sunyi untuk kembali mengenali diri. Spiritualitas bukan lari dari dunia, melainkan keberanian untuk tidak larut dalam dunia yang terlalu cepat, terlalu ramai, dan terlalu menuntut.
Tapi kini, barangkali kita sudah terlalu dekat dengan dunia ini. Terlalu larut dalam ritme yang memaksa kita selalu hadir, selalu sibuk, selalu “on”. Kita lupa bahwa jiwa pun butuh langkah mundur. Kita terbiasa menginginkan segalanya secara cepat, termasuk damai. Kita ingin tenang dalam satu sesi ceramah, ingin tercerahkan dalam satu kutipan, ingin tampak religius dalam satu unggahan. Kita ingin merasakan Tuhan, tapi enggan menunggu dalam keheningan. Kita ingin makna, tapi takut memasuki kekosongan yang bisa saja tidak memberi jawaban langsung.
Apa yang hilang bukan Tuhan, bukan ajaran, bukan ritual. Yang hilang adalah kita. Kita yang kehilangan keberanian untuk berhenti. Kita yang kehilangan keheningan batin, kehilangan kesungguhan dalam ibadah, kehilangan kerendahan hati untuk hadir apa adanya, tanpa simbol, tanpa kemasan, tanpa kebisingan. Kita kehilangan akar. Akar yang menghubungkan kita dengan sumber kehidupan yang lebih dalam dari apa pun yang bisa dijelaskan.
Mungkin, kita perlu berhenti sejenak. Diam. Melihat kembali ke dalam. Bertanya pada diri sendiri dengan jujur: apakah jalan yang kita tempuh hari ini sungguh mengantar kita pulang, atau justru menjauhkan kita dari rumah? Apakah ritual-ritual yang kita jalankan masih membawa kita menuju cahaya, atau hanya membuat kita sibuk menyalakan lampu di luar, sementara di dalam tetap gelap?
Spiritualitas bukan tentang tampil suci. Ia bukan tentang kata-kata manis atau simbol yang megah. Ia adalah keberanian untuk duduk bersama kekosongan, menyelami luka, menerima keraguan, dan perlahan berjalan menuju kesadaran. Ia adalah proses menyentuh keheningan, bukan lari darinya. Ia adalah keberanian untuk tidak tampil, untuk tidak menjelaskan, untuk hanya menjadi dan dalam keberadaan itu, menemukan kembali hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
Dalam kesadaran itu, mungkin kita akan menemukan kembali akar yang telah lama tertimbun. Akar yang tidak terlihat, tapi kuat menopang jiwa. Akar yang tidak terdengar, tapi senantiasa mengalirkan makna. Akar yang tak bisa dipamerkan, tapi justru menyambungkan kita dengan dimensi kehidupan yang lebih dalam dan lebih abadi. Karena pada akhirnya, spiritualitas sejati bukan tentang siapa yang paling terlihat suci. Tetapi siapa yang paling berani menengok ke dalam, tinggal bersama keheningan, dan perlahan berjalan menuju keutuhan. Menuju pulang.
Referensi:
Sigmund, J. A. 2002. “Religion, Spirituality, and Spiritualism”. American Journal of Psychiatry, 159(12), 2117–2118.
Arnel, I., Haq, M. Z., & Haqq, M. V. 2024. “Globalisasi, Pasca-Sekularisme, dan Pergeseran Batas-Batas Sakral”. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, Vol. 4, No. 3, 2024.
Zailani, Z., & Ulinnuha, R. 2023. “Komodifikasi Agama sebagai Identitas Kesalehan Sosial”. Jurnal Riset Agama, Vol. 3, No. 1, 2023.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-8 Desember 2024