Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Reformasi Tasawuf

slider
01 Agustus 2025
|
190

Saat ini, kita hidup di tengah zaman yang serba cepat, ramai, dan penuh dengan capaian duniawi. Kita mendambakan sebuah spiritualitas yang bukan hanya menenangkan batin, tetapi juga mendorong kita untuk hadir dalam kehidupan sosial yang mempunyai makna. Kondisi ini sangat relevan dengan pemikiran Fazlur Rahman, seorang tokoh neomodernisme Islam kelahiran Pakistan. Ia menawarkan reformasi tasawuf yang tidak meninggalkan realitas, tetapi hadir meredakan luka batin sekaligus luka sosial umat Islam.

Fazlur Rahman dan Jalan Tengah Neomodernisme

Fazlur Rahman (1919-1988) dikenal sebagai pemikir besar yang membawa pembaruan dalam wacana pemikiran Islam. Ia memiliki latar belakang pendidikan filsafat di Oxford dan kedalaman ilmu Islam klasik. Rahman dikenal karena gagasan-gagasannya yang maju dan kritis, yang menyebabkan ia menghadapi banyak kontroversi di Pakistan, terutama dari ulama konservatif yang menuduhnya liberal dan radikal.

Fazlur memperkenalkan apa yang disebut sebagai neomodernisme, yaitu sebuah jalan tengah antara tradisionalisme yang cenderung stagnan dan modernisme yang kerap tercerabut dari akar tradisi. Dalam lanskap pemikiran Islam, tradisionalis berupaya menjaga kontinuitas ajaran ulama klasik melalui fatwa dan mazhab. Sayangnya, mereka kerap tertinggal merespons tantangan zaman.

Di sisi lain, modernis berorientasi pada penyesuaian Islam dengan nilai-nilai modern seperti rasionalitas, ilmiah, demokrasi, dan kesetaraan. Neomodernisme hadir untuk menengahi. Ia terbuka terhadap nilai-nilai modern, namun tetap berpijak pada maqashid al- shari’ah dan warisan klasik secara kontekstual.

Pemikiran Rahman ditandai dengan ajakan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, bukan secara literal, melainkan memaknai secara historis dan etis. Secara historis, ia menekankan pentingnya memahami asbabun nuzul dan kondisi sosial saat turunnya ayat. Secara etis, ia mengajak pembaca Al-Qur’an untuk menangkap pesan moral yang bersifat universal dan kontekstual sesuai perubahan zaman. Namun, tetap terbuka terhadap nilai-nilai ilmiah dan demokrasi. Maka, ijtihad dan bagaimana nalar kritis dibentuk adalah dua poros penyeimbang untuk membawa Islam tetap relevan tanpa kehilangan arah asalnya.

Tasawuf Lama dan Kebutuhan Akan Reformasi

Dalam konteks tasawuf, Rahman menyuarakan keresahan yang sama seperti kita alami kini. Rahman mengkritik bentuk-bentuk sufisme klasik yang cenderung melarikan diri dari dunia (eskapis), bersifat irasional, dan melepaskan tanggung jawab sosial. Tasawuf yang semata-mata fokus pada ekstase mistik dan memisahkan secara tegas antara syariat dan hakikat dinilai tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman modern.

Tasawuf yang ideal, menurut Rahman, adalah tasawuf yang etis, aktif, dan bertanggung jawab secara sosial selaras dengan konsep kesadaran profetik yang dicontohkan Nabi Muhammad. Tasawuf yang sejati adalah perjuangan etis untuk membentuk manusia ideal yang sadar tanggung jawab moralnya di hadapan Tuhan dan masyarakat. Inilah yang kemudian ia istilahkan sebagai bentuk sufisme yang telah direformasi sesuai dengan semangat profetik. Tasawuf yang bisa menghadirkan kesadaran ilahiah dan kesadaran sosial secara bersamaan.

Dalam pemikiran ini, tasawuf tidak hanya eksklusif milik para sufi yang mengasingkan diri, tetapi menjadi jalan transformasi batin yang bisa diakses siapa saja yang menghendaki untuk menjadi pribadi bermoral. Value yang dibawa tidak terbatas tentang pengalaman mistik yang abstrak, tetapi tentang bagaimana kesadaran kepada Tuhan membentuk karakter, mengendalikan nafsu, dan memampukan seseorang terlibat aktif dalam perubahan sosial.

Kritik Fazlur Rahman terhadap Tasawuf Lama

Beberapa kritik utama Rahman terhadap tasawuf klasik mencerminkan semangat pembaruan yang menyeluruh. Eskapis, ia mengkritik bentuk-bentuk sufisme klasik yang cenderung melarikan diri dari dunia bersifat irasional, dan melepaskan tanggung jawab sosial. Hal ini membuat umat Islam tertinggal karena mengabaikan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Ia menolak kaitan antara dunia dan masalah sosial, sehingga menyebabkan umat untuk sulit bangkit.

Pemikiran dualistik syariat dan hakikat, ia memisahkan secara ketat syariat (lahir) dan hakikat (batin), bahkan menganggap syariat kurang penting bagi yang sudah mencapai hakikat. Padahal kita memerlukan syariat yang mendalam sampai hakikat dan hakikat yang dilandasi oleh syariat. Syariat adalah jalan menuju kedalaman spiritual, bukan topeng sementara yang bisa dilepas saat tidak nyaman.

Penghormatan berlebihan kepada mursyid, terkadang menghilangkan kebebasan berpikir para pengikutnya. Seseorang yang menempuh jalan tasawuf tertentu, rasanya menjadi tidak mandiri dalam berpikir dan bertindak. Tentunya, kita sangat menghargai guru sebagai pembimbing dan penuntun jalan, tetapi pada saatnya kita yang harus jalan sendiri. Spiritualitas yang sehat harus mendorong kebebasan dan tanggung jawab pribadi, bukan ketundukan tanpa intervensi.

Lalu fokus berlebihan pada ekstase dan mistisisme, yaitu menganggap pengalaman mistik sebagai puncak tasawuf. Merasa jika sudah sampai ke ekstase, rasanya sudah selesai perjalanan. Padahal perjalanan spiritual harusnya tidak berhenti di sana. Masih ada tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral.

Stagnasi pemikiran, terjadi ketika tasawuf diturunkan untuk ditaati tanpa ruang ijtihad atau pembaruan makna. Adanya simbol-simbol metafisis yang rumit membuatnya sulit dipahami orang awam sehingga menutup akses bagi mereka yang tidak elite.

Neosufisme: Ala Fazlur Rahman

Neosufisme dalam pandangan Fazlur Rahman menekankan bahwa tasawuf seharusnya menjadi jalan untuk tazkiyatun nafs (penyucian diri), bukan sekadar pencapaian mistis. Dalam pandangan ini, moralitas tidak semata-mata lahir dari penguasaan hukum, tetapi dari perjalanan membersihkan diri. Rahman menekankan bahwa seseorang dikatakan berhasil bukan ketika ia mampu mengumpulkan banyak pengikut atau pencapaian duniawi, tetapi ketika ia mampu menaklukkan egoisme dalam dirinya. Kata Rahman, “The successful are those who can save from their own selfishness.” Kita di muka bumi ini tidak hanya mempunyai tanggung jawab ibadah, tetapi juga bertanggung jawab sebagai khilafah.

Neosufisme versi Rahman adalah mengembalikan spiritualitas Islam pada hamparan realitas. Ia tidak menolak dunia, tetapi menjadikannya sebagai ladang pengabdian. Dunia bukan tempat pelarian, melainkan arena pengabdian yang penuh kesadaran etis. Spiritualitas bukan soal lari dari penderitaan sosial, melainkan hadir untuk meredakannya. Oleh karena itu, tasawuf tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial, perlawanan terhadap kezaliman, dan pembelaan terhadap kaum tertindas.

Hubungan Tasawuf dengan Sosial dan Moral

Kesalehan dalam pandangan Rahman harus menyentuh dua sisi, yaitu secara vertikal dan horizontal. Tasawuf harus memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan (hablum minallah) yang membuahkan empati dan aksi sosial (hablum minannas). Spiritualitas yang hanya sibuk dengan zikir tetapi menutup mata terhadap ketidakadilan sosial adalah spiritualitas semu. Rahman menegaskan bahwa tasawuf sejati tidak boleh mengabaikan persoalan sosial dan keadilan.

Bagi Rahman, zulm (kezaliman) adalah ketika seseorang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, baik dalam ranah personal, sosial, maupun spiritual. Orang yang berbuat zalim sebenarnya tidak hanya merusak korban, tetapi juga merugikan dirinya sendiri, karena ia menimbulkan kebencian dan kerusakan batin. Sebenarnya kezaliman terjadi ketika orang yang zalim itu sudah rusak duluan, entah itu pikirannya ataukah hatinya. Oleh karena itu, akan bijak jika setiap muslim dapat senantiasa memawas diri, maksudnya mengenali dorongan dalam dirinya yang berpotensi zalim dan mengambil peran aktif untuk menciptakan keadilan.

Reformasi tasawuf Rahman mengajak kita untuk menekankan pentingnya membaca kehidupan dari empat jendela: wahyu (Al-Qur’an), alam semesta (kauniah), sejarah (tarikhiyah), dan diri (nafsiyah). Keempat sumber ini menjadi bekal untuk membentuk pribadi yang lebih sadar, tidak hanya dalam kerangka spiritual, tetapi juga dalam kontribusi sosial dan keilmuan. Mereka yang mampu mengkolaborasikan keempat aspek ini, akan menjadi pemimpin peradaban, bukan hanya pengikut pasif zaman.

Penutup: Membentuk Pribadi Profetik

Neosufisme ala Fazlur Rahman bukan aliran spiritual baru, tetapi sebuah orientasi hidup yang menggabungkan kedalaman batin, ketajaman akal, dan kepedulian moral. Rahman mengenalkan tasawuf yang tidak menjauh dari dunia, tetapi justru menjadikannya sebagai area jihad etis. Spiritualitas yang tidak hanya dimiliki oleh para elite atau pencari ekstase semata, tetapi bisa bagi siapa saja yang ingin membangun peradaban dari dalam dirinya.

Di zaman ini, pemikiran Fazlur Rahman adalah ajakan untuk memulai kembali bukan pada masa lalu, tetapi pada jati diri sendiri. Tasawuf yang sejati bukan tempat pelarian, melainkan sebuah ruang untuk membentuk keseimbangan. Ia bukan akhir perjalanan, melainkan pijakan awal untuk menjadi manusia yang sadar pada Tuhan, sesama, dan hakikat dirinya.

Referensi:

Ngaji Filsafat 473: Fazlur Rahman - Reformasi Tasawuf edisi Neo-Sufisme bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 2 Juli 2025.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Vira Prajna Cantika

Alumni Ekonomi Islam UII. Bergiat di Komunitas Literasi Masjid MJS Project