Ontologi Tubuh dalam Bingkai Filsafat Fenomenologis Merleau-Ponty

slider
08 November 2025
|
313

Tubuh manusia menjadi salah satu tema pemikiran menarik di sejarah perkembangan pemikiran manusia. Sebagian pemikir berpendapat, bahwa tubuh adalah penghalang manusia untuk mencapai kebenaran yang sejati. Tubuh dengan segala kebutuhannya yang harus dipenuhi, menghalangi manusia untuk mencapai kesejatian.

Berbeda dari para pendahulunya, filsuf fenomenolog Prancis, Maurice Merleau-Ponty (1908-1961) menawarkan pandangan baru tentang tubuh. Melalui karyanya Phenomenology of Perception (1945) dan The Visible and the Invisible (1964), Ponty menawarkan pandangan baru tentang tubuh yang bukan hanya sekadar objek biologis, tetapi sebagai subjek yang menjadi dasar pengalaman dan eksistensi manusia di dunia.

Pemikiran Ponty sangat kuat dipengaruhi oleh Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan terutama teman dekatnya, Jean Paul Sartre. Proyek filosofis Merleau-Ponty pada dasarnya adalah menyingkapkan relasi tubuh dan dunia. Ini dikarenakan ia menolak pandangan Descartes yang memisahkan antara res extensa (tubuh) dan res cogitans (kesadaran) yang menganggap tubuh sekadar objek yang dapat diukur dan dikendalikan oleh subjek rasional.

Pandangan Descartes tersebut mendominasi epistemologi dan ontologi Barat, sehingga Ponty melakukan revolusi konseptual terhadap pemahaman tubuh dengan mengembangkan apa yang disebut sebagai “ontologi tubuh yang hidup” (living body ontology). Dalam pandangannya, tubuh bukanlah sekadar benda di dunia, melainkan cara manusia hadir dan memahami dunia. Ponty ingin membuktikan tubuh tidak cukup dipahami dalam konteks lampau tersebut. Menurutnya, manusia dalam kesatuan tubuh dan jiwa sekaligus, tanpa keterpisahan.

Fenomenologi Merleau-Ponty: Persepsi dan Tubuh

Fenomenologi Merleau-Ponty lahir sebagai respons terhadap dua kutub pemikiran modern: empirisisme dan rasionalisme. Keduanya gagal menjelaskan pengalaman konkret manusia yang selalu berwujud dan terikat dunia. Husserl sebagai pendiri fenomenologi telah membuka jalan dengan konsep Lebenswelt (dunia kehidupan)dunia pra-reflektif tempat kesadaran manusia berakar (Husserl, 1970).

Berdasarkan metodenya ini, kita tidak melihat benda melainkan gejala-gejala, sebagai sintesis dari objek dan subjek. Fenomenologi ini dikembangkan Husserl berdasarkan tesis mengenai intensionalitas dari Brentano, yang menyatakan bahwa mengalami tidak bisa dipisahkan dari dialami, subjek dan objek bersatu, sehingga tidak ada hal menyadari tanpa ada hal yang disadari.

Paham intensionalitas ini sebagai salah satu tema pokok fenomenologi yang dimanfaatkan oleh Ponty. Husserl menggunakan paham ini untuk menunjukkan hubungan kesadaran dengan objeknya, sedangkan pada Ponty digunakan untuk melukiskan kaitan subjek dengan dunianya. Baginya, kaitan subjek dengan dunia bersifat pra-refleksif, artinya mendahului segala refleksi dan kesadaran. Ini bukan pada taraf pengenalan, melainkan pada taraf eksistensi.

Selain itu, terkait masalah reduksi, Husserl telah mempraktikkan semboyannya “kembali kepada benda-benda itu sendiri” dengan mengusahakan berbagai reduksi. Ponty melihat kunci bagi ajaran tentang reduksi dalam pemikiran Husserl pada periode terakhir mengenai Lebenswelt. Reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Inilah alasan mengapa bagi Ponty filsafat sebenarnya tidak lain daripada suatu ‘metafisika’ yang berakar dalam pengalaman. Filsafat dalam hal ini bertugas mengeksplisitkan atau membeberkan isi pengalaman dengan membangkitkan kembali kontak langsung kita dengan dunia.

Pencerapan atas unsur dan objek inilah yang membentuk pengetahuan manusia tentang dunia. Benda-benda di dunia tidaklah dapat dipisahkan dari orang yang mempersepsinya. Benda-benda juga tidak dapat bersifat mandiri pada dirinya sendiri, karena benda itu hanya dapat dikenali melalui pencerapan dan eksistensi manusia, dan eksistensi itu terwujud secara nyata di dalam konsep tubuh manusia. Inilah kekhasan fenomenologi persepsi (Phenomenology of Perception) Merleau-Ponty.

Pemikirannya memberikan sebuah bentuk fenomenologi yang sangat khas. Ponty menolak filsafat Barat yang menurutnya mengidap tendensi ganda: yaitu empirisisme pada satu sisi dan intelektualisme pada sisi lain yang secara umum merujuk kepada idealisme. Selanjutnya Ponty mengartikulasikan kembali hubungan antara subjek dan objek, diri dan dunia yang berkelindan secara jelas dengan berbagai persoalan dualistis.

Secara konseptual, istilah persepsi mempunyai arti lebih luas daripada sekadar dengan mata mengamati suatu objek. Sebetulnya istilah persepsi meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia. Dengan adanya persepsi sudah jelas bahwa kita berakar dalam dunia. Manusia dapat dilukiskan sebagai berada dalam dunia (etre-au-monde) dan persepsi adalah relasi asali kita dengan keterbukaan pada dunia.

Kemudian tema persepsi ini berhubungan erat dengan suatu tema lain yang sangat penting bagi Ponty, yaitu tubuh. Keterkaitan ini dikarenakan persepsi selalu melibatkan tubuh; persepsi berlangsung dalam dan melalui tubuh. Bahkan menurutnya, tubuh yang mengetahui lebih banyak tentang dunia daripada kita sendiri. Dalam persepsi, artinya dalam hubungan subjek dengan dunia, tubuh ternyata memainkan peranan sebagai subjek. Tubuh adalah subjek persepsi. Inilah pandangan Merleau-Ponty yang terkenal, ‘tubuh-subjek’.

Tubuh bukan hanya hal yang diraba, dilihat atau dipegang, tetapi juga suatu misteri yang dilihat dan melihat; meraba dan diraba. Misalnya, kalau tangan kanan meraba tangan kiri, kita bisa meraba dan merasakan perabaan, sehingga baginya dalam tubuh itu sudah timbul refleksi. Refleksi tersebut bukan hal rohani saja, karena sudah muncul dalam tubuh. Hal ini dimaksudkan bahwa tubuh yang prasadar mengetahui lebih banyak tentang dunia dari (kesadaran) saya sendiri.

Oleh karena itu, tubuh dan alam bersama-sama ko-ekstensif. Tubuh kita menentukan cara kita melihat dunia. Bahkan kita tidak bisa lepas dari tubuh kita yang berakar pada alam. Atas dasar ini, Merleau-Ponty mencoba menggabungkan jiwa secara dialektis dengan tubuh manusia. Ia berusaha mendekati realitas dengan pertama-tama mempelajari persepsi manusia.

Selama ini, kata persepsi (kegiatan perseptual) seseorang hanya menjabarkan bagaimana manusia menggunakan panca indranya sebagai alat menerima informasi dari dunia objektif. Persepsi bagi Ponty bukan hanya aktivitas fisikal individu mencerap dunia di sekitarnya. Analisis tradisional tentang persepsi melalaikan proses kompleks yang terjadi pada individu dengan dunianya. Mempersepsikan berarti memiliki kesadaran tentang kualitas yang disensasikan. Kesadaran ini jangan disalahpahami sebagai impresi murni yang dipusatkan pada subjek. Melainkan, pemahaman tentang objek adalah pengalaman subjek bersinggungan dengan properti dari objek tersebut.

Tubuh sebagai Ontologi

Pemahaman atas properti dari objek harus disadari melalui pengalaman, atau dalam terminologi Merleau-Pontian, indrawi pengalaman (sense-experience/sentir). Dalam buku Phenomenology of Perception, Ponty menggunakan contoh penglihatan atas warna merah. Sesuatu dikatakan merah adalah definisi yang dicantumkan untuk menjelaskan warna tertentu. Hal yang dialami adalah properti dari objek tersebut. Maka yang disaksikan dan didefinisikan memang bersumber dari objek, tetapi hal yang murni dari objek itu sendiri (pure quality) tetap menjadi kualitas tersembunyi dari objek. Dengan begitu, sensasi murni yang dipahami empirisme ditolak olehnya, karena hal yang diketahui hanya sebagian dari keseluruhan pada objek.

Ponty mengatakan, bahwa kekeliruan pengalaman menandakan sesuatu yang diandaikan, diketahui pada benda atau dirinya sendiri, hal itu dianggap sebagai hal yang ada dalam kesadaran. Kaum empiris menganggap bahwa melalui pencerapan indrawi, segala aspek serta dimensi objek mampu diketahui dan dunia akan sontak muncul. Baginya pandangan empirisme tersebut sangat naif, karena sesungguhnya yang disaksikan itu hanya separuh atau bahkan sekelumit dari objek.

Kritik tersebut menjadi titik tolak pemahaman baru tentang persepsi tubuh bukan hanya sebagai instrumen semata atau rekayasa mental. Meskipun hal yang sifatnya perseptual diperoleh dengan panca indra, tetapi itu perlu dipandang tidak sekadar instrumental atau aparatus indra yang bukan hanya konduktor atau penghubung saja; karena ada konsep kepekaan yang dicerap melalui inderawi. Maka, segala yang diserap dari objek itu dapat terjadi karena adanya relasi intensional.

Persepsi tidak mengalami sesuatu kala impresi beserta segala memori dari subjek bercampur. Namun, persepsi bagi Merleau-Ponty merupakan kegiatan berdiri di tengah hamparan kluster data. Akan tetapi, memori tersebut bukan semacam impresi mental dari masa lalu, tetapi bagaimana subjek menembus cakrawala masa itu untuk menghidupi kembali pengalaman yang dialaminya. Pengalaman itu bukan suatu jenis ingatan yang dibentuk pikiran, melainkan hal yang benar dialami, dirasakan tubuh. Dengan demikian, persepsi bukan saja kegiatan mengingat, tetapi mengalami kembali hal yang pernah dilalui secara reflektif.

Koreksi terhadap makna persepsi menjadi sedemikian penting karena perbaikan ini memberikan pengertian baru pada aktivitas perseptual tubuh yang tidak lagi sekunder bagi individu. Sehingga tidak lagi diselubungi prasangka dualitas tubuh dan pikiran. Tubuh menjadi penanda dari eksistensi subjek. Tubuh merupakan relasi ontologis terhadap dunia eksternal. Jadi, tubuh dan dunia adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh dengan menyentuh yang lain. Tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia. Sebaliknya, dunia menjadi dapat dipersepsi dengan menyentuh tubuh.

Ontologi tubuh pada pemikiran Ponty berupaya menjelaskan bagaimana tubuh memahami apa yang ada. Namun, tahap mendasar yang harus dilewati yakni memahami tubuh itu sendiri lebih dari pemahaman tubuh secara biologis semata. Acap kali saat menjalani kehidupan keseharian, tubuh dianggap sebagai keberadaan yang lumrah, menganggap tidak ada ada hal yang istimewa tentang bagaimana kita menggunakan tubuh. Bahkan penggunaan tubuh terjadi secara otomatis. Hal inilah menjadi sasaran kritik Ponty, dengan melakukan penyelidikan, ia mengetahui bagaimana sesungguhnya tubuh bekerja yaitu melalui tubuh ini subjektivitas dapat disingkap di tengah dunia.

Revolusi ontologi yang dilakukan Merleau-Ponty memungkinkan pemahaman melampaui kebuntuan problem jiwa dan tubuh warisan Descartes. Perspektif baru itu memungkinkan pemikiran ulang bagaimana subjek terhubung dengan dunianya. Sehingga ide dasar realitas baginya diubah menjadi tidak saja apa itu realitas, tetapi bagaimana menjalani realitas. Dengan menggunakan tubuh, kita bisa merasakan sakit, kenikmatan, dan juga segala macam emosi membentuk diri menjadi manusia unik. Oleh karena itu, menurutnya, realitas bukan hanya sebatas realitas metafisis yang hanya sanggup diakses kemurnian subjek melalui pikiran.

Bahkan Ponty secara mengejutkan menyatakan tidak ada subjek absolut. Menurutnya, pengalaman yang dimiliki tentang diri ‘aku’ bukan terletak pada subjektivitas absolut, tetapi dapat terpecah dan dibangun seiring dengan alur waktu. Kesatuan antara subjek dan objek bukan penyatuan yang riil, melainkan penyatuan yang diandaikan dalam cakrawala pengalaman.

Tubuh dan Dunia

Tesis dasar dari Merleau-Ponty tentang tubuh, menurut Carman, adalah bahwa persepsi manusia akan dunia bukanlah persepsi terlepas tanpa konteks, melainkan suatu fenomena menubuh (bodily phenomenon). Persepsi bukanlah sesuatu yang bersifat privat. Tubuh juga bukan hanya sesuatu yang murni material. Persepsi adalah semacam titik tengah antara pengalaman subjektif internal di satu sisi, dan fakta-fakta objektif eksternal di sisi lain. Persepsi bukan keduanya, tetapi juga sekaligus keduanya.

Dalam bentuknya yang paling konkret, persepsi adalah unsur dari tubuh manusia yang menyentuh dunia. Konsep-konsep oposisi di dalam filsafat, seperti internal dan eksternal, mental dan fisik, subjektif dan objektif, menurut Carman, tidaklah mampu menampung keseluruhan konsep tubuh di dalam filsafat Merleau-Ponty. Terutama karena persepsi dan tubuh sekaligus bersifat intensional dan mekanis, sekaligus subjektif dan objektif, dan sekaligus internal maupun eksternal.

Kategori oposisi tersebut tentunya memiliki pengandaian, dan pengandaian itulah yang rupanya ingin direkonstruksi oleh Ponty. Terlihat sepintas adanya pengalaman-pengalaman subjektif, seperti perasaan, emosi, dan pengalaman-pengalaman eksternal, seperti adanya kapal, lemari, dan sebagainya. Akan tetapi kedua konsep itu, yakni pengalaman subjektif dan pengalaman eksternal, dibangun atas abstraksi dari keterbukaan manusia pada dunia. Oleh karena itu, keterbukaan pada dunia itulah yang seharusnya direfleksikan lebih jauh.

Dengan demikian, persepsi manusia memiliki dua aspek, yaitu aktif dan pasif. Pasif berarti persepsi merupakan bagian dari organ yang menerima informasi dari pengalaman indrawi. Aktif berarti persepsi merupakan bagian dari aktivitas tubuh manusia yang mendunia. Sisi aktif dan pasif dari persepsi manusia di dalam filsafat Ponty, bagaikan dua sisi yang berbeda dari mata uang yang sama. Carman menjelaskan bahwa persepsi bersifat pasif dan juga aktif, situasional dan praktis, terkondisikan dan bebas. (Carman, 2008: 79).

Maka tubuh dan dunia bagi Ponty, haruslah dilihat sebagai dua entitas yang menyatu, yang saling tumpang tindih. Hubungan keduanya bukanlah hubungan rangsangan dan reaksi, tetapi sebagai sesuatu yang saling menjalin dalam satu kesatuan. Konsep “saling menjalin” ini yang nantinya menggantikan konsep kesadaran di dalam pemikiran sebelumnya.

Tubuh dan dunia memang tampak tidak terpisahkan, karena setiap orang mengalami dunia melalui tubuhnya. Dunia adalah dunia bagi tubuhku. Misalnya: saya melihat benda eksternal dengan tubuh yang saya miliki, saya memegangnya, saya memeriksanya, berjalan mengitarinya, akan tetapi bagi tubuh yang saya miliki, saya tidak mengamatinya pada dirinya sendiri; untuk bisa melakukan itu, saya perlu menggunakan tubuh kedua yang juga pada dirinya sendiri tidak bisa saya amati.

Dengan demikian, tubuh adalah jalan bagi manusia untuk bisa mendunia. Tubuh bukanlah objek yang kontingen, atau sekadar fakta kasar dari dunia. Tubuh adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan persepsi manusia. Tubuh adalah modus mengada manusia di dunia. Dengan kata lain, orang tidak dapat memahami persepsi dalam abstraksinya yang terlepas dari tubuh, karena persepsi selalu terkait tubuh. Persepsi sebagai fenomen menubuh manusia.

Hubungan Tubuh di Tengah Alam

Menurut Merleau-Ponty, sebelum manusia menyadari kemampuan nalar atau analitiknya, relasi pertama, manusia menyadari dirinya hidup bersama alam. Bahkan sebelum manusia mampu menggunakan sistem bahasa yang rumit dan hadirnya teknologi, komunikasi pertamanya adalah dengan alam. Kemudian manusia mulai berpikir tentang alam, keindahan, kemegahan, serta rasa takutnya terhadap alam. Selepas itu manusia mulai berpikir tentang dirinya sendiri dan apa yang harus dilakukan untuk menyikapi hal yang tidak diketahui tentang alam.

Alam adalah ruang bagi subjek. Dia menyadari segala determinasi alam sebagai faktisitasnya. Kesadaran akan faktisitasnya itu memicu kecemasan, aspirasi, dan mendorong subjek berpikir tentang eksistensinya di antara alam. Ponty menyatakan bahwa tubuh dari subjek merupakan titik pivotal, titik pandang yang memungkinkan subjek memahami dirinya sendiri. Tidak mungkin ada realisasi yang tercapai dari isolasi subjek sebab tidak ada subjektivitas absolut. Subjek mampu berpikir karena adanya intensionalitas dengan objek, baik itu sentuhan, tatapan, maupun aroma ketika ia di tengah dunianya. Kualitas itu tidak saja memenuhinya secara perseptual, tetapi juga eksistensial.

Dengan demikian, komunikasi dengan alam lebih kuno daripada pikiran. Relasi manusia dengan alam menurutnya jauh lebih primordial dibanding kemampuan manusia merefleksikan eksistensinya. Hal itu dikarenakan kehidupan manusia tidak hanya sekadar dipengaruhi kondisi alam, tetapi kehidupan manusia dibentuk oleh bagaimana dia memahami alam.

Teori fenomenologi Merleau-Ponty yang telah didekonstruksi terkait pemahaman usang tentang subjek dan objek, memberi pandangan berbeda bahwa tubuh subjek dan alam bukanlah dualisme yang terpisah total. Karena tubuh dan alam adalah ritme, suatu gerakan berkesinambungan dengan relasi intensional. Jadi, menyadari tubuh berarti menyadari hal itu dalam lingkungan dan keadaan. Tubuh manusia berada di tengah dunianya. Dunia itu terdiri dari keragaman alam, kota, tumbuhan, lanskap, hingga satwa yang hidup dalam habitatnya.

Penutup

Merleau-Ponty menolak dualisme Cartesian yang memahami tubuh yang selalu dikontraposisikan dengan jiwa atau pikiran. Kemudiaan pemahaman bahwa jiwa merupakan entitas yang berbeda, yang aktivitasnya kelak melampaui ruang dan waktu abadi. Namun perlu dipertegas sekali lagi, tidak berarti konsep jiwa ditiadakan, hanya yang harus diklarifikasi jiwa dalam pengertian fenomenologi adalah kesadaran terikat secara ko-independen dengan tubuh. Tubuh dan jiwa bukan dua kategori atau dua status berbeda, tetapi suatu kesatuan kompleks mekanisme dari subjek.

Ontologi tubuh Merleau-Ponty memberi perspektif lebih radikal guna memahami relasi subjek-objek. Tubuh subjek adalah sesuatu yang terpaut dengan interaksinya dengan tubuh dunia. Selain itu, ontologi tubuh ini pun merehabilitasi pemahaman yang bias tentang kata subjek dan objek. Objek bukanlah entitas insignifikan dan ditaklukkan oleh subjek. Objek adalah realitasnya sendiri, independen, maka, keputusan tidak saja datang dari habituasi. Hal itu sepenuhnya hadir melalui pengalaman riil yang dilalui subjek. Dari sini menjadi inspirasi filsafat lingkungan di era kontemporer untuk merekonstruksi kembali argumentasi yang lebih efektif guna membahas alam dan manusia. Upaya pencegahan arogansi manusia menuju kesadaran yang lebih mendalam tentang dirinya di tengah alamnya.

Referensi:

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2006.

Carman, Taylor. Merleau-Ponty. London dan New York: Routledge, 2008.

Dewi, Saras. Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam. Jakarta: Marjin Kiri, 2018

Merleau-Ponty, Maurice. Phénomènologie de la Perception. Terjemahan oleh Colin Smith. Phenomenology of Perception. London dan New York: Routledge, 2005.

Munawar-Rachman, Budi. “Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial Mengenai Kebudayaan: Edmund Husserl dan Jejak-jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger”. Jakarta: Jurnal Ushuluddin. Vol. 1, No. 6: 493-514, 2013.

Priest, Stephen. Merleau-Ponty. London dan New York: Routledge, 1998.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Nurul Annisa Hamudy

Research Assistant Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC). Alumni Filsafat Universitas Paramadina