Masyarakat Arkais: Yang Sakral dan Yang Profan dalam Bingkai Fenomenologi Historis Agama Mircea Eliade

slider
21 Juli 2025
|
407

Perhatian orang terhadap masalah-masalah agama sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Namun ilmu-ilmu agama sendiri baru mulai berkembang pada abad ke-19. Pelopor dalam bidang ini adalah Friedrich Max Muller (1823-1900), dengan menggunakan pendekatan dari segi bahasa. Kemudian pendekatan ini berturut-turut diikuti oleh pendekatan-pendekatan lain: etnologis dengan tokohnya W. Mannhardt (1931-1800), historis dengan tokohnya Wilhelm Wundt (1832-1920) dan William James (1842-1920), kemudian dipraktekkan oleh Sigmund Freud (1856-1939) dan Carl Gustave Jung (1875-1961).

Baru pada 1930-an, muncul pendekatan fenomenologis. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Gerardus van deer Leeuw. Pendekatan mutakhir dalam masalah agama adalah pendekatan fenomenologis historis agama dengan tokoh-tokohnya W. Brede Kristensen (1867-1953), Joachim Wach (1898-1955), dan Mircea Eliade (1907-1986) (Mangunhardjono, 1983, p. 34).

Fenomenologi historis agama adalah penyelidikan sistematis dari sejarah agama yang bertugas mengklasifikasikan dan mengelompokkan, menurut cara tertentu sejumlah data yang tersebar luas, sehingga suatu pandangan yang menyeluruh dapat diperoleh dari isi agama-agama dan makna religius yang dikandungnya (Dhavamony, 1995, pp. 25–26).

Tindakan dan kepercayaan religius dalam setiap agama memang memperlihatkan kesamaan tertentu dengan tindakan dan kepercayaan dalam agama-agama lain. Sejarah suatu agama hanya membawa pada pengertian kekhususannya. Sedangkan fenomenologi agama memperlihatkan pandangan sistematik dari fenomena-fenomena agama dengan menarik fakta dan fenomena yang sama dalam agama-agama yang berlainan untuk dikumpulkan lalu mempelajarinya per kelompok. Hal ini bertujuan agar memperoleh suatu pandangan yang lebih dalam dan saksama, sebab lewat pertimbangan bersama dalam satuan kelompok, data itu akan memperjelas satu sama lain.

Dalam fenomenologi, kita mempertimbangkan fenomena agama bukan hanya dalam konteks historis mereka, melainkan juga dalam hubungan struktural mereka. Jadi, perlu dibedakan antara sejarah agama dan sejarah agama tertentu. Meskipun mengkhususkan diri dalam suatu agama dan hanya dalam satu aspek dari periode agama, banyak sejarawan agama disebut sejarawan karena mereka menerima metode historis dan bekerja atas pengandaian-pengandaian historis.

Akan tetapi, sejarah agama tidak membatasi diri hanya pada satu agama atau satu aspek dari agama, melainkan mempelajari paling sedikit sejumlah kecil agama agar dapat membandingkan, mencoba memahami tata cara beragama, institusi-institusi yang termuat dalam mitos-mitos, upacara-upacara, konsep tentang Tuhan, dan lain sebagainya (Dhavamony, 1995, p. 26).

Dalam arti yang kedua inilah sejarah agama harus kita mengerti dan bisa disebut fenomenologi historis agama untuk membedakannya dengan jelas dari sejarah agama tertentu. Bahannya diambil dari sejarah agama tertentu, tetapi pengaturannya lebih mengikuti sudut pandang sistematik daripada sudut pandang menurut perkembangan genetis dari fenomena itu.

Misalnya, saat orang bertanya apakah yang dipercayai oleh berbagai agama mengenai Tuhan? Jawaban dari masing-masing agama tentu akan menampilkan kepercayaan akan Tuhan dalam tahap-tahap historis yang berbeda (mulai dari asal-usul hingga perkembangan konsep Tuhan dalam agama). Namun, jawaban fenomenologi historis agama akan menampilkan ide-ide dari berbagai agama secara sistematik untuk mendapatkan arti dari konsepsi Tuhan lewat penggunaan metode perbandingan (Dhavamony, 1995, pp. 26–27).

Fenomenologi historis agama sebagaimana yang dianut oleh Mircea Eliade menggarap fakta, data, fenomena, ungkapan-ungkapan, dan lambang-lambang religius sebagai bahan penyelidikannya. Dalam kerjanya, secara keseluruhan ia menggunakan metode-metode komparatif, historis, fenomenologis, dan juga hermeneutik.

Dengan metode komparatif, Eliade berusaha menghubungkan dan membedakan fakta religius yang dipelajarinya. Beberapa jenis data religius diselidiki bersama-sama, maka arti keseluruhan dapat ditangkap, dan perbedaan arti yang ada antara data-data yang ada menjadi jelas juga. Metode historis berusaha menunjukkan bagaimana suatu fakta telah dihayati di masa lampau dan bagaimana telah berubah.

Metode fenomenologis bertujuan menggarap fakta religius untuk menangkap esensi tanpa mendasarkan diri pada teori-teori yang ada atau dibentuk sebelumnya (Mangunhardjono, 1983, p. 36). Seorang fenomenolog diharapkan menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: zu den Sachen selbst (tertuju pada barangnya sendiri) (Delfgaauw, 2001, p. 105).

Eliade memanfaatkan ketiga metode tersebut, tetapi karena hasil yang diperoleh dengan metode-metode itu sifatnya belum menyeluruh, masih patrial, terbatas dari sudutnya sendiri, maka untuk mendapatkan pengertian yang bulat dari suatu fakta religius, seluruh hasil yang diperoleh dengan metode-metode itu perlu dikumpulkan dan digarap secara khusus. Dengan demikian, hasil analisa itu harus dibuat menjadi suatu sintesa dengan menggunakan metode hermeneutik (ilmu penafsiran) (Mangunhardjono, 1983, p. 36).

Jadi, cabang ilmu agama yang dianut Eliade secara sistematis menggarap berbagai macam fakta religius. Fakta religius itu dikelompokkan dan disusun menurut jenis-jenisnya: mitos, lambang, ritus, lembaga religius, dan lain-lain. Kemudian dengan metode komparatif, historis, fenomenologis, dan hermeneutik, Eliade mencoba menguraikan dan mengartikan kumpulan fakta itu untuk menggambarkan fenomen-fenomen religius dan untuk menafsirkan makna religiusnya (Susanto, 1987, p. 41).

Masyarakat Arkais: Yang Sakral dan Profan Menurut Mircea Eliade

Sebagai seorang ahli agama, selama bertahun-tahun Eliade mempelajari struktur dan arti berbagai macam fakta, data, fenomena, dengan menggunakan pendekatan fenomenologis historis agama. Dalam studinya mengenai agama, Eliade mengkhususkan pada masyarakat arkais. Eliade mengusulkan istilah ini karena dianggap lebih baik dibandingan dengan istilah primitif yang tidak memadai dan mudah sekali menimbulkan salah pengertian. Istilah arkais atau preliterate mau melukiskan suatu masyarakat yang memiliki ciri-ciri primitif, tradisional, pra-modern, eksotis, ahistoris, dan pra-historis (Susanto, 1987, p. 43).

Sehari-hari mereka mengerjakan pekerjaan “alami”, seperti berburu, bercocok tanam, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan alami lainnya. Atas dasar tersebut Eliade menyarankan supaya para sejarawan harus keluar dari peradaban modern dan mencoba untuk memahami kehidupan arkais yang sangat berbeda dengan kehidupan masa kini. Dalam masyarakat inilah akan ditemui apa yang disebutnya sebagai pemisahan antara Yang Sakral dan Yang Profan dalam agama (Pals, 2018, p. 281).

Eliade menjelaskan tentang Yang Profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara acak atau teratur dan sebenarnya tidak terlalu penting karena terkait dengan sesuatu yang biasa dan tidak istimewa dalam kehidupan manusia. Yang Profan ini mudah hilang dan terlupakan, sedangkan Yang Sakral adalah wilayah yang supranatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan, dan teramat penting.

Yang Sakral adalah kebalikan dari Yang Profan, yang abadi dan penuh substansi. Bila Yang Profan adalah tempat di mana manusia berbuat salah, selalu mengalami perubahan dan terkadang dipenuhi dengan chaos. Yang Sakral adalah tempat di mana segala keteraturan dan kesempurnaan berada, tempat berdiamnya roh para leluhur, para ksatria dan dewa-dewi (Eliade, 1987, pp. 8–113). Menurut Eliade, dimanapun kita berjumpa dengan masyarakat arkais, agama dimulai dari pemisahan kedua wilayah ini.

 

Yang Profan

Yang Sakral

Wilayah urusan sehari-hari—hal-hal yang biasa, tak disengaja, dan pada umumnya tidak penting.

Wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan, dan penting.

Sesuatu yang mudah menghilang dan terlupakan, hanya bayangan.

Sesuatu yang abadi, penuh dengan substansi dan realitas.

Arena urusan manusia yang dapat berubah-ubah dan sering kacau.

Wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan, dan dewa-dewi.

 

Sebenarnya pemisahan kedua wilayah ini telah digunakan sebelumnya oleh Emile Durkheim, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Ketika Durkheim berbicara tentang Yang Sakral dan Yang Profan, ia selalu berpikir dalam konteks masyarakat dan kebutuhannya (Pals, 2018, pp. 281–282). Bagi Durkheim, Yang sakral adalah sesuatu yang tinggi, agung, berkuasa, dihormati, dalam kondisi Yang Profan ini tidak tersentuh dan terjamah. Sementara, Yang Profan adalah kehidupan sehari-hari yang bersifat biasa saja. Yang sakral ini berada dalam masyarakat, sementara Yang Profan ada dalam konteks individu.

Untuk menjelaskan konsep-konsep ini, Durkheim berpendapat bahwa bentuk agama yang paling elementer dapat ditemukan dalam totemisme. Totem merupakan suatu objek penyembahan tetapi bukan dewa. Pada dirinya sendiri totem tidak memiliki sesuatu yang dapat menimbulkan ketakutan atau kehormatan. Bahkan secara primitif dan universal tidak dianggap didiami oleh suatu roh. Hal yang baru dalam pendapat Durkheim adalah bahwa totem itu mempunyai sifat sosial (Susanto, 1987, p. 19).

Durkheim berpendapat bahwa tidak tepat mengatakan bahwa konsep agama adalah kekuatan personal yang disebut Tuhan, melainkan sebuah konsep yang tidak personal (impersonal), yang dihormati dan dipuja sekaligus mengatur masyarakat, tetapi tidak memiliki sosok. Melalui totemisme yang saat ini masih bertahan di daerah Australia, Durkheim mampu menjelaskan fungsi agama yaitu membuat masyarakat agar selalu memenuhi tanggung jawab sosial mereka dengan jalan simbolisasi klan sebagai totem mereka.

Sebaliknya, ketika berbicara tentang Yang Sakral, Eliade menganggap bahwa kepercayaan klan tidak seperti yang dipikirkan Durkheim. Dalam pandangannya, fokus perhatian utama agama adalah Yang Supernatural, sifatnya mudah dimengerti dan sangat sederhana (Pals, 2018, p. 282). Agama terpusat pada dan dari Yang Sakral, bukan hanya sekadar menggambarkan agama seperti yang dilihat oleh kacamata sosial.

Jika ditarik lebih dalam, konsep Yang Sakral dari Eliade sangat dipengaruhi oleh pemikiran dari Rudolf Otto (sejarawan dan teolog berkebangsaan Jerman) yang juga menjadi pembimbing Eliade. Otto menyelidiki dan menganalisis modalitas-modalitas pengalaman religius (Eliade, 1987, p. 8). Ia menolak pendekatan yang rasionalistis terhadap masalah agama dan menekankan segi non rasional dalam pengalaman religius (Susanto, 1987, p. 32).

Menurutnya, unsur esensial pengalaman religius yang non rasional adalah pengalaman numinous (numen = wujud ilahi atau roh) yang membangkitkan rasa hormat ini sangatlah unik dan tak dapat direduksi. Yang numinous adalah Yang Kudus dalam arti kekudusan non moral. Yang Kudus inilah yang dihayati oleh orang beriman dan dihadapannya manusia mempunyai perasaan bahwa dirinya tidak berarti (suatu perasaan dari makhluk yang tidak lebih dari sebuah ciptaan), merasa gentar, tetapi juga merasa terpesona. Perasaan-perasaan ini tidaklah sama dengan perasaan-perasaan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Perasaan terhadap Yang Kudus merupakan suatu perasaan yang khas dan khusus.

Kemudian perasaan tersebut mengungkapkan bahwa Tuhan itu sungguh Yang Mahalain, The Wholly Other” (Das Ganz Andere) yang mengatasi segala kenyataan di dunia ini (Eliade, 1987, p. 9). Itulah pengalaman tentang Yang Suci, satu perjumpaan dengan Yang Sakral. Dalam istilah Latin, Otto menyebutnya mysterium, yang terdiri dari tremendum et fascinans, yaitu hal misterius yang secara bersamaan sangat agung sekaligus menakutkan (Pals, 2018, p. 283).

Terpengaruh dengan uraian Otto tersebut, Eliade lebih jauh menegaskan bahwa dalam perjumpaan dengan Yang Sakral orang-orang merasa bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi (nir-duniawi); mereka merasa bahwa telah bersentuhan dengan sebuah realitas yang tidak seperti realitas lain yang pernah mereka kenal, sebuah dimensi eksistensi yang dahsyat-menggetarkan, sangat berbeda, dan merupakan realitas abadi yang tiada bandingannya.

Perasaan inilah yang menjadi titik kunci apa yang disebut dengan agama. Eliade sepenuhnya sepakat dengan hal ini. Ia menyatakan bahwa perjumpaan dengan Yang Sakral dapat dialami oleh semua orang. Perasaan ini begitu kuatnya sehingga kekuatan dari Yang Sakral itu dianggap sebagai sebuah realitas, sesuatu yang nyata. Kesakralan adalah keseluruhan realitas yang dahsyat dan abadi (Eliade, 1987, pp. 12–13).

Manusia ingin berada dekat dengan kekuatan itu. Meskipun benar inilah apa yang dianggap Tuhan oleh agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, dan Islam, tetapi Eliade meminta untuk tidak menginterpretasikan Yang Sakral sebagai Tuhan, karena konsepnya mengenai Yang Sakral tidak hanya berpusat pada Tuhan (Pals, 2018, p. 284). Segala konsep-konsep yang berada dalam ruang lingkup perjumpaan dengan yang nir-duniawi dapat dikatakan sebagai Yang Sakral, dan ini tidak berarti harus selalu dengan Tuhan yang bersifat personal.

Perlu dicatat pula, bahwa perasaan tentang Yang Sakral bukanlah hal yang bersifat kadang-kadang, terjadi hanya pada segelintir orang dan di tempat-tempat tertentu saja. Bahkan masyarakat sekuler di tengah peradaban modern ini, menganggap perjumpaan dengan Yang Sakral adalah sesuatu yang mengejutkan, yang berada di bawah alam sadar (berupa mimpi-mimpi nostalgia dan merupakan hasil kerja imajinasi).

Bagi Eliade, sebagaimana dituliskan oleh Daniel L.Pals, meskipun Yang Sakral itu terkadang tersembunyi dan samar-samar, tetapi intuisi tentang Yang Sakral tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia. Untuk itu, manusia tidak bisa hidup tanpanya dan ternyata Yang Sakral pun berada di segala penjuru (Pals, 2018, pp. 284–285).

Di dalam masyarakat arkais, otoritas Yang Sakral mengatur semua kehidupan karena dianggap absolut dan amat penting bagi kelangsungan eksistensi alam dan akan selalu mempengaruhi jalan hidup mereka. Misalnya, menentukan waktu ataupun dalam membangun perkumpulan baru, masyarakat arkais tidak serta merta memilih tempat begitu saja. Suatu perkampungan yang akan didirikan, haruslah pada tempat yang memiliki “hierophany” (berasal dari bahasa Yunani “hieros” dan “phaineien” yang berarti penampakan Yang Sakral). Tempat tersebut dianggap sebagai titik sentral cosmos karena pernah dikunjungi roh nenek moyang (Eliade, 1958, p. 373).

Biasanya titik pusat Yang Sakral ini ditandai dengan sebuah pancang, tiang atau benda-benda lain yang menancap ke tanah dan menjulang ke langit. Tanda-tanda ini melambangkan tiga bagian alam semesta: surga, bumi, dan lapisan bawah bumi (tanah) (Eliade, 1958, p. 375). Hal-hal tersebut sangat disakralkan oleh mereka karena tanda-tanda itu bukan hanya dianggap sebagai perkampungan, melainkan juga berfungsi sebagai axis mundi (pusat dunia) yang berfungsi sebagai poros utama, tiang penyangga, tempat kehidupan berputar (Pals, 2018, pp. 286–287).

Sangat terlihat bahwa manusia akan selalu menyerahkan pilihannya kepada Yang Sakral.  Sebab praktek-praktek dan kepercayaan religius mereka selalu berpusat pada masalah-masalah fundamental kehidupan manusia. Mereka tidak mengenal aktivitas profan. Bagi mereka tidak ada aktivitas yang melulu merupakan kecakapan profan. Alam tidak pernah bersifat natural secara murni, tetapi sekaligus natural dan supranatural. Bersifat supranatural karena alam merupakan manifestasi kekuatan-kekuatan Yang Sakral dan figur realitas-realitas transendental (Susanto, 1987, p. 43). Atas dasar inilah manusia menyerahkan hal-hal Yang Profan juga kepada Yang Sakral.

Menurut Eliade, model-model seperti ini dapat ditemukan di berbagai tempat dan zaman, seperti dalam masyarakat Kristen pertengahan, masyarakat Muslim di masa awal perkembangannya, kebudayaan Babilonia kuno, masyarakat Vedic di India, masyarakat Jawa kuno (misal: Yogyakarta yang mempunyai garis imajiner dari gunung Merapi, Tugu, Karaton dan Laut Pantai Selatan, dipahami sebagai garis sakral sebuah kerajaan). Kehidupan mengarahkan dirinya berdasarkan titik sakral ini yang dilambangkan dengan simbol vertikal penghubung langit dan bumi, penghubung Yang Sakral dan Yang Profan.

Relevansi Pemikiran Mircea Eliade

Gagasan Eliade ini memberikan kontribusi besar dalam kehidupan beragama dan bagi agama itu sendiri. Di tengah gempuran rasionalitas abad modern yang menolak dan meruntuhkan aspek irrasional agama, pemikiran tentang Yang Sakral dan Yang Profan menjadi sangat penting. Agama dalam pandangan Eliade bukanlah suatu entitas yang hanya bisa diterima oleh nalar, tetapi juga mengandung unsur-unsur adikrodati yang tidak bisa dijelaskan secara rasional.

Di samping itu, pemikiran ini semakin memperjelas bahwa agama merupakan respons terhadap Yang Sakral itu sendiri. Misalnya, upacara kurban pada perayaan Idul Adha merupakan salah satu cara umat Muslim menjaga relasinya dengan Allah melalui persembahan atau penyembelihan hewan kurban (sapi, domba, atau kambing) bagi umat yang berkecukupan secara finansial. Dalam hal ini Allah (meskipun Eliade tidak menyebut Yang Sakral sebagai Tuhan dan konteks pemikirannya, yang pada saat itu terpusat pada masyarakat arkais, tetapi secara general masih relevan karena memiliki pola yang sama dengan agama modern) merupakan entitas yang sangat sakral yang di dalam-Nya berasal keteraturan, kesempurnaan karena Dia adalah Sang Maha Sempurna.

Selain itu, konsep yang ditawarkan oleh Eliade juga memberikan kontribusi yang sangat besar pada zaman sekarang ini. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi peradaban, hal-hal yang supernatural semakin ditinggalkan oleh banyak orang. Pengalaman spiritual menjadi sesuatu yang tidak relevan dan harus dihindari. Situasi ini membuat para praktisi keagamaan menjadi kelabakan karena agama dipandang oleh masyarakat hanya sebagai institusi belaka.

Pemikiran dan penjelasan Eliade tentang Yang Sakral dapat membantu para praktisi agama untuk menegaskan bahwa Yang Sakral itu masih tetap berperan dalam hidup manusia. Yang Sakral bukan sesuatu pemberian dari manusia, karena karakter Yang Sakral yang ada di dalamnya bukan disebabkan oleh kesepakatan sosial seperti yang dijelaskan oleh Durkheim.

Kontribusi lainnya dapat diarahkan kepada para pemikir keagamaan. Eliade juga berhasil mendorong para sejarawan agama untuk berusaha melampaui tugas-tugas ilmiah belaka mereka. Dengan tidak terbatas pada penelitian, para peneliti agama juga diharapkan untuk dapat memahami makna pengalaman religius yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk sejarah yang berbeda. Cara Yang Sakral ini memanifestasikan dirinya oleh Eliade disebut dengan terminologiHierophany”. Kata ini berarti Yang kudus memanifestasikan diri di suatu tempat dan ini digunakan untuk menunjukkan kisah pewahyuan atau manifestasi dari Yang Kudus (Susanto, 1987, p. 50).

Gagasan ini dengan jelas menekankan aspek ketunggalan dari Yang Kudus itu. Yang Kudus bukan sesuatu yang berasal atau dibentuk oleh manusia seperti mitos, karena Yang Kudus itulah yang memanifestasikan dirinya tanpa dipengaruhi pandangan manusia atau kesepakatan manusia itu sendiri. Untuk itu, pemikiran Mircea Eliade terhadap fenomena keagamaan telah memberikan dampak besar dalam perkembangan teori agama. Argumentasinya sangat mendasar karena berkaitan langsung dengan apa yang sering dialami oleh penganut agama.

Eliade juga memberikan konsep kesakralan mengenai ketuhanan yang lebih luas yang lebih dalam, sehingga dapat berarti kesakralan dari kekuatan-kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, jiwa-jiwa abadi, dan roh suci yang mengatasi segala alam raya. Adanya konsep kesakralan yang dijelaskan Eliade menyadarkan kita bahwa ini menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia.

Penelitiannya terhadap masyarakat arkais yang melihat Yang Sakral lebih dari sekadar milik umum, tetapi juga bagian yang absolut dan terpenting di dalam eksistensi alam, dan sangat memengaruhi jalan kehidupan mereka, termasuk dalam menentukan waktu dan tempat menetap, menambah khazanah pemikiran kita yang dalam kehidupan modern mulai diabaikan karena dianggap sebagai takhayul semata.

Kesimpulan

Menggunakan pendekatan fenomenologi historis agama, Eliade menggarap fakta, data, fenomena, ungkapan-ungkapan dan lambang-lambang religius sebagai bahan penyelidikannya. Dalam kerjanya, secara keseluruhan ia menggunakan metode-metode komparatif, historis, fenomenologis dan juga hermeneutik.

Eliade memanfaatkan ketiga metode tersebut, tetapi karena hasil yang diperoleh dengan metode-metode itu sifatnya belum menyeluruh, masih parsial, terbatas dari sudutnya sendiri, maka untuk mendapatkan pengertian yang bulat dari suatu fakta religius, seluruh hasil yang diperoleh dengan metode-metode itu perlu dikumpulkan dan digarap secara khusus.

Fakta religius itu dikelompokkan dan disusun menurut jenis-jenisnya: mitos, lambang, ritus, lembaga religius dan lain-lain. Kemudian dengan metode komparatif, historis, fenomenologis, dan hermeneutik, Eliade mencoba menguraikan dan mengartikan kumpulan fakta itu untuk menggambarkan fenomen-fenomen religius dan untuk menafsirkan makna religiusnya (Susanto, 1987, p. 41).

Selanjutnya dengan pendekatan tersebut, Eliade mengkhususkan diri untuk meneliti agama masyarakat arkais. Dalam masyarakat inilah akan ditemui apa yang disebutnya sebagai pemisahan antara Yang Sakral dan Yang Profan dalam agama. Yang Profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara acak atau teratur dan sebenarnya tidak terlalu penting karena terkait dengan sesuatu yang biasa dan tidak istimewa dalam kehidupan manusia. Sehingga Yang Profan ini mudah hilang dan terlupakan. Sedangkan Yang Sakral adalah wilayah yang supranatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan, dan teramat penting.

Yang Sakral adalah kebalikan dari Yang Profan, yang abadi dan penuh substansi. Bila Yang Profan adalah tempat di mana manusia berbuat salah, selalu mengalami perubahan dan terkadang dipenuhi dengan chaos. Yang Sakral adalah tempat di mana segala keteraturan dan kesempurnaan berada, tempat berdiamnya roh para leluhur, para ksatria dan dewa-dewi. Menurut Eliade, dimanapun kita berjumpa dengan masyarakat arkais, agama dimulai dari pemisahan kedua wilayah ini.

Melalui pemisahan kedua wilayah ini, kita bisa melihat bahwa konsep kesakralan mengenai ketuhanan yang lebih luas yang lebih dalam, sehingga dapat berarti kesakralan dari kekuatan-kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, jiwa-jiwa abadi, dan roh suci yang mengatasi segala alam raya juga termasuk di dalamnya. Segala konsep-konsep yang berada dalam ruang lingkup perjumpaan dengan yang nir duniawi dapat dikatakan sebagai Yang Sakral, dan ini tidak berarti harus selalu dengan Tuhan yang bersifat personal.

Adanya konsep kesakralan yang dijelaskan Eliade menyadarkan kita bahwa ini menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia. Penelitiannya terhadap masyarakat arkais yang melihat Yang Sakral lebih dari sekadar milik umum, tetapi juga bagian yang absolut dan terpenting didalam eksistensi alam, dan sangat memengaruhi jalan kehidupan mereka, termasuk dalam menentukan waktu dan tempat menetap, menambah khazanah pemikiran kita yang dalam kehidupan modern mulai diabaikan karena dianggap sebagai takhayul semata.

Referensi:

Delfgaauw, B. 2001. Filsafat Abad 20. S. Soemargono (ed.). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Dhavamony, M. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Eliade, M. 1958. Patterns In Comparative Religion. R. Sheed (ed.). London: Sheecl & Ward.

Eliade, M. 1987. The Scared and the Profane. W. R. Trask (ed.). London: Harcourt, Brace & World.

Mangunhardjono. 1983. "Homo Religiosus Menurut Mircea Eliade" dalam M. Sastrapratedja (ed.). Manusia Multi Dimensional. Jakarta: Gramedia.

Pals, D. L. 2018. Seven Theories of Religion. B. J. Sujibto (ed.). Yogyakarta: IRCiSoD.

Susanto, H. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Nurul Annisa Hamudy

Research Assistant Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC)