Kyai Husein Muhammad dan Paradigma Baru Fikih Pesantren

slider
01 November 2025
|
321

Dalam kehidupan masyarakat yang terus bergerak, kaum muslim—khususnya kaum pesantren yang mendalalami keilmuan Islam—sedang mengalami tantangan yang begitu kompleks. Pemahaman Agama yang diambil dari kitab kuning, sumber pokok rujukan kaum pesantren, masih sering dipahami secara skriptural, yang disadari atau tidak akan melahirkan tatanan hidup yang terasa timpang di dunia modern.

Sebab bagaimanapun, pemahaman agama memiliki andil besar pada segala aspek kehidupan, baik yang dijalani secara personal, transaksional, sosial, bahkan politik. Apa yang secara dominan, pemahaman ini masih disandarkan pada karya-karya ulama klasik yang lahir di rentang abad ke 9-12 M.

Sebagai sosok kyai yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren dengan segala tradisinya, Kyai Husein Muhammad dengan segala kegelisahan dan keahliannya berhasil menumbuh-suburkan pemikiran-pemikiran Islam yang progresif dalam membaca ulang kitab-kitab kuning untuk menjawab persoalan-persoalan aktual. Berbagai pemikiran tersebut terabadikan di beberapa karyanya seperti: Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender (2019), Menuju Fiqh Baru (2020), Memahami Cita-Cita Teks Agama (2024), dan beberapa karya lainnya yang mengelaborasi pemahaman klasik untuk diselaraskan dengan realitas modern.

Diamini atau tidak, segala jenis ketimpangan yang terjadi di negara yang mayoritas muslim, kebanyakan bermula dari pemahaman Agama yang dipahami tanpa melihat substansi dan konteks yang melatarbelakangi teks itu terlahir. Sebab betapapun itu, karya-karya ulama klasik yang masih dikaji hari ini, ia akan sulit untuk menjawab problem-problem modern, jika masih dipahami secara literal. Hal ini, pernah disinggung oleh Max Weber, seorang sosiolog Barat, yang mengatakan bahwa hukum Islam cenderung kaku dan masih memiliki sitematika yang kurang jelas (Muhammad Lathif Fauzi, 2025).

Namun begitu, kitab kuning sebagai sumber inspirasi keagamaan yang sangat mapan di kalangan pesantren, ia memiliki pengaruh yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat—meski ia dipahaminya dengan cara yang masih cenderung kaku. Karena, sebagaimana yang diutarakan Emile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religius Life, bahwa agama memiliki fungsi sosial yang besar dalam meneguhkan tatanan moral masyarakat. Maka, yang menentukan adil tidaknya tatanan itu, adalah cara pembacaan atas teks agama itu sendiri (Emile Durkheim 2017).

Dalam berbagai kajian fikih klasik, masih sering ditemukan beberapa keterangan yang kiranya melegitimasi ketidaksetaraan peran dalam kehidupan berelasi, baik relasi yang terjalin di antara laki-laki dan perempuan atau relasi muslim dan non-muslim. Dalam hal ini, perempuan dan non-muslim seringkali diposisikan lebih rendah daripada laki-laki dan orang muslim.

Pada gilirannya, pemahaman yang seperti itu memiliki konsekuensi yang fatal dalam kehidupan, baik dalam ranah hubungan personal (keluarga) atau sosial kemasyarakatan. Oleh karenanya, kontekstalisasi kitab kuning dengan paradigma baru yang bersifat humanis, menjadi suatu hal yang tidak lagi bisa ditolak. Tidak lain, demi terwujudnya keadilan dan kemashlahatan dalam tatanan kehidupan masyarakat muslim yang menjadikan teks-teks keagamaan (Al-Qur’an, hadis, dan produk pemikiran para ulama) sebagai inspirasi pokoknya.

Analisis Teks dengan Perspektif Humanis

Setelah itu, mungkin pertanyaan yang perlu diketengahkan adalah bagaimana caranya untuk menganalisis teks-teks otoritas agama untuk melahirkan pemikiran yang lebih egaliter, kontekstual, dan humanis?

Sebagian kita menggembar-gemborkan pemahaman yang kontekstual dengan cara yang kebablasan. Maka, pertanyaan itu adalah wujud kehati-hatian kita dalam menganalisis teks-teks agama agar tidak kehilangan sisi transendensinya namun tetap bisa menjawab permasalahan-permasalahan baru yang tengah dihadapi bersama.

Dalam karya berjudul Memahami Cita-Cita Teks Agama (2024) terdapat tema menarik dengan judul “Mengembalikan Tradisi Keilmuan Islam yang Hilang”. Di antaranya Kyai Husein menjelaskan bagaimana tradisi keilmuan Islam pada masa awal bekerja dan merespons problematikanya dengan berbagai cara.

Seperti pendekatan rasional dalam memahami teks Al-Qur’an, hadis, dan produk intelektual muslim, adalah suatu pendekatan yang pernah disinggung oleh Fakhr ad-Din ar-Razi, sosok intelektual muslim-sunni klasik. Dalam karyanya, al-Mathalib al-‘Aliyah Fi ‘ilm al-Ilahiyah, ar-Razi mengatakan bahwa, menafikan sisi rasional dalam memahami sebuah teks, apa pun itu, adalah bentuk dari menafikan teks itu sendiri.

Pendekatan klasik yang lain yang seringkali digunakan oleh para ulama kita adalah pendekatan empiris. Imam Syafi’i dalam mengistinbatkan persoalan menstruasi (haid), menggunakan pendakatan ini dengan terjun langsung ke lapangan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, menurut Imam Syafi’i, kebenaran terletak pada sisi realitas-empiris bukan pada wilayah intelektual-spekulatif.

Di samping pendekatan rasional dan empiris, yang perlu diketengahkan dalam persoalan sekarang adalah cara menganalisis teks-teks otoritas keagamaan dari berbagai konteksnya. Seperti konteks bahasa, sejarah sosial, dan pendekatan kebudayaan. Dalam hal ini, Kyai Husein mengharapkan agar sebuah teks akan selalu hidup dalam merespons problematika umat Islam dari tempat, kondisi, dan kebudayaan yang berbeda-beda.

Konteks bahasa, kehidupan sosial, dan kebudayaan yang berkembang, sangat menentukan sekali bagaimana pemikiran Islam dilahirkan dan dikembangkan. Sehingga dalam konteks Indonesia, dalam menganalisis suatu teks keagamaan di samping melihat realitas dan budaya yang berkembang di dalam tubuh masyarakatnya, juga harus bersandar pada aspek keadilan dan demokrasi. Sebagaimana yang diungkapan Kyai Husein dalam wawancara yang tertulis di bagian pengantar buku Islam Agama Ramah Perempuan (2021), bahwa analisis kritis yang dilakukan dalam membaca ulang kitab kuning, selalu melalui paradigma keadilan dan demokrasi.

Setelah melalui pendekatan tersebut, kita juga harus melekatkan pendekatan yang inklusif. Di mana kaum muslim tidak selayaknya menutup diri pada pemikiran-pemikiran kelompok lain, meskipun berbeda agamanya. Karena watak asli ilmu pengetahuan itu sendiri, tidaklah menutup diri, melainkan terbuka seluas-luasnya, sebagaimana yang pernah disabdakan Nabi Muhammad Saw, “Ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari tangan kaum muslimin. Maka, jika ia menemukannya di manapun, hendaklah ia mengambilnya kembali.

Kiranya, beberapa pendekatan inilah yang akan melahirkan pemikiran-pemikiran kaum muslim—khususnya kaum pesantren—secara kontekstual, humanis, dan berkeadilan dalam realitas modern. Tentu saja, ini adalah pendekatan progresif yang harus diteruskan dalam mendialogkan teks agama dengan realitas yang dinamis oleh generasi muslim saat ini, yang tiada lain untuk mewujudkan sistem kehidupan yang lebih rahmatan lil-‘alamin.

Di lain sisi, corak fikih yang demikian menjadi bukti bahwa kaum pesantren berhasil merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang kerapkali didiskreditkan sebagai kelompok yang kolot dan sarat dengan tradisi yang bernuansa feodal—untuk tidak mengatakannya perbudakaan—justru, lahir pemikiran Islam yang progresif, terbuka, dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Dan sekali lagi, dengan corak fikih yang humanis seperti ini, pesantren dapat tampil sebagai pusat peradaban Islam yang menebarkan keadilan dan kasih sayang, bukan ketimpangan dan kekerasan.

Referensi:

Emile Durkheim. 2017. The Elementary Forms of the Religious Life (Bentuk-Bentuk Dasar Kehidupan Religius). Yogyakarta: IRCiSoD.

 Fauzi, Muhammad Latif. 2025. Hukum-Dan-Masyarakat Dalam Studi Hukum (Keluarga) Islam Di Indonesia.

Muhammad, Husein. 2020. Menuju Fiqh Baru. Cetakan Pe. ed. Muhammad Ali Fakih. Yogyakarta: IRCiSoD.

________________. 2021a. Fiqh Perempuan. Cetakan v. ed. Yudi dan Faqihuddin Abdul Kodir. Yogyakarta: IRCiSoD.

________________. 2021b. Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: IRCiSoD.

________________. 2024. Memahami Cita-Cita Teks Agama. Yogyakarta: IRCiSoD.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Asyrofudin

Pengamat isu sosial-keagamaan, juga Mahasiswa Hukum Islam dan sebagai alumni Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun-Cirebon