Kosmologi Sufi dan Teologi Progresif dalam Puisi Muhammad Iqbal

slider
28 Juli 2025
|
415

Muhammad Iqbal (1877-1938), penyair dan filsuf besar dari anak benua India (Pakistan), merupakan salah satu tokoh penting dalam dunia Islam modern yang berhasil memadukan sufisme klasik dengan kesadaran modern. Karya-karyanya, terutama puisi-puisi filosofis seperti Javid Nama (1932) dan Asrar-i-Khudi (1915), tidak hanya mengekspresikan spiritualitas yang mendalam, tetapi juga mengandung visi progresif tentang eksistensi manusia, Tuhan, dan alam semesta.

Salah satu aspek penting dari warisan intelektual Iqbal adalah rekonstruksi kosmologi sufistik dalam bentuk puitik yang kaya simbol dan makna. Melalui puisi, ia menyampaikan sebuah miraj intelektual dan spiritual yang menjadikan pengalaman ruhani sebagai proyek transformatif bagi individu dan umat.

Iqbal tidak menolak tasawuf, tetapi menyeleksi dan mereformulasikannya. Ia mengkritik aspek-aspek fatalistik dalam sufisme klasik, terutama ketika konsep fana’ (lebur dalam Tuhan) dimaknai sebagai pelepasan total dari tanggung jawab duniawi. Sebaliknya, Iqbal mengusulkan sebuah spiritualitas aktif, di mana manusia harus mengembangkan khudi (diri atau ego kreatif) sebagai inti kesadaran spiritual.

Dalam pandangan Iqbal, sufisme bukan pelarian dari dunia, melainkan jalan untuk membentuk kepribadian yang kuat, yang mampu menghadapi realitas dan menaklukkannya demi nilai-nilai Ilahi. Dengan membangkitkan kembali ide tentang insan kamil dalam kerangka baru, Iqbal menawarkan semangat baru kepada umat Islam yang terjebak dalam dekadensi dan stagnasi.

Iqbal hidup di tengah zaman krisis kolonialisme Inggris yang menggerus harga diri umat Islam, modernitas yang mencabut akar-akar spiritual, dan kebuntuan pemikiran keagamaan tradisional yang kehilangan daya kreatif. Dalam situasi seperti ini, Iqbal melihat pentingnya membangkitkan kembali kesadaran kosmik manusia. Ia menggunakan puisi bukan hanya sebagai ekspresi estetika, tetapi sebagai alat pendidikan ruhani. Puisinya menjadi wahana epistemologis yang menggabungkan rasionalitas, imajinasi, dan intuisi. Bagi Iqbal, memahami Tuhan bukan hanya melalui kitab suci atau logika, tetapi juga melalui perjalanan batin yang reflektif dan kreatif.

Salah satu karya yang paling representatif dalam konteks ini adalah Javid Nama, sebuah puisi epik filosofis dalam bahasa Persia yang diterbitkan pada 1932. Karya ini mengisahkan perjalanan spiritual Iqbal, yang dalam puisi dipersonifikasikan sebagai Zinda Rud, menembus langit-langit eksistensi bersama gurunya, Jalaluddin Rumi.

Struktur naratif dalam Javid Nama sangat kental dengan pengaruh Isra’ Mi’raj, namun diolah kembali dalam konteks filsafat eksistensial yang khas Iqbal. Perjalanan ini bukan sekadar alegori mistik, tetapi peta perkembangan spiritual dan intelektual manusia, dari kesadaran terendah menuju penyatuan dengan kehendak Ilahi.

Iqbal menyusun perjalanan ini melewati tujuh langit yang masing-masing memiliki makna simbolik mendalam. Langit pertama, Bulan (Qamar), merepresentasikan kondisi jiwa yang rapuh, dunia emosi dan perasaan yang mudah berubah. Di langit ini, Iqbal menggambarkan bahwa banyak manusia terjebak dalam pusaran emosi yang tak stabil dan belum mampu mengenali potensi sejatinya.

Langit kedua, Merkurius (Utarid), adalah simbol dari nalar dan rasionalitas. Meski penting, Iqbal mengingatkan bahwa akal murni tidak cukup untuk membimbing manusia menuju kebenaran mutlak. Langit ketiga, Venus (Zuhrah), mencerminkan seni, keindahan, dan cinta. Iqbal memandang cinta sebagai energi spiritual yang mampu membakar ego dan menyatukan manusia dengan sumber ketuhanan.

Perjalanan berlanjut ke Matahari (Syams), pusat cahaya dan energi, tempat di mana jiwa manusia mulai menemukan terang Ilahi dalam dirinya. Di titik ini, manusia sadar akan misi hidupnya. Langit kelima, Mars (Mirikh), merupakan simbol perjuangan dan keberanian, di mana manusia menghadapi ujian dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran di tengah dunia yang penuh konflik.

Langit keenam, Jupiter (Musytari), menjadi lambang kebijaksanaan, hukum, dan tatanan moral. Di sini, Iqbal berdialog dengan para nabi dan pemikir besar tentang prinsip keadilan dan keteraturan alam. Langit ketujuh, Saturnus (Zuhal), merupakan tempat keterasingan dan kontemplasi terdalam, ruang keheningan di mana manusia dihadapkan pada realitas akhir: dirinya sendiri dan Tuhan.

Di setiap langit, Iqbal bertemu tokoh-tokoh besar, mulai dari Al-Hallaj, Zoroaster, Buddha, Ibnu Sina, hingga Nietzsche. Dialog lintas zaman ini menunjukkan kecintaan Iqbal pada peradaban manusia dan keterbukaannya terhadap berbagai sumber hikmah. Ia tidak membatasi spiritualitas hanya pada Islam, tetapi merayakan kebijaksanaan dari Timur dan Barat.

Pertemuan dengan Nietzsche, misalnya, menjadi titik penting dalam puisi ini karena Iqbal mengapresiasi sekaligus mengkritisi gagasan Ubermensch Nietzsche. Iqbal setuju bahwa manusia harus menjadi pencipta nilai, namun ia menolak nihilisme dan atheisme Nietzsche. Bagi Iqbal, kekuatan manusia justru terletak pada kesadaran bahwa dirinya adalah wakil Tuhan, bukan pengganti Tuhan.

Satu hal yang sangat signifikan dalam puisi ini adalah peran Jalaluddin Rumi sebagai pemandu spiritual. Rumi menggantikan fungsi buraq dalam kisah Mi’raj Nabi Muhammad Saw, yang menunjukkan bahwa bagi Iqbal, cinta dan kebijaksanaan sufilah kendaraan terbaik untuk menembus dimensi langit.

Dalam bimbingan Rumi, Iqbal tidak hanya belajar tentang ekstase mistik, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial. Rumi mengajarkan bahwa mi’raj bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari perjuangan etis di bumi. Sebuah pencapaian spiritual sejati hanya sah jika diikuti dengan tindakan konkret yang memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.

Konsep khudi yang terus menerus dibangun dalam puisi-puisi Iqbal menjadi dasar dari seluruh perjalanan spiritual tersebut. Berbeda dengan doktrin fana’ yang sering diartikan sebagai hilangnya ego dalam Tuhan, Iqbal mengajarkan bahwa ego harus diperkuat, disempurnakan, dan diarahkan agar mampu mencerminkan kehendak Ilahi di dunia.

Khudi bukan ego individualistik, tetapi diri yang menyatu dengan semesta dan sadar akan peran kreatifnya dalam sejarah. Inilah sebabnya Iqbal menyebut manusia yang mencapai khudi paripurna sebagai co-creator, makhluk yang dengan cintanya mampu merombak dunia. Dalam tafsir ini, spiritualitas bukan pelarian dari dunia, melainkan keberanian untuk hadir di tengah dunia dengan cahaya dari langit.

Kosmologi sufistik Iqbal memiliki daya tarik tersendiri karena mampu menggabungkan kerangka simbolik Islam klasik dengan semangat modernitas yang kritis. Ia tidak menolak modernitas, tetapi mengisinya dengan ruh Islam. Ia tidak kembali ke masa lalu, tetapi menggunakan warisan spiritual Islam sebagai fondasi untuk membangun masa depan. Dalam hal ini, puisi-puisinya sangat relevan untuk generasi muslim hari ini yang menghadapi tantangan sekularisme, nihilisme, dan keterasingan spiritual. Iqbal memberikan jalan tengah: jadilah manusia modern yang spiritual; jadilah sufi yang berpikir dan bertindak.

Puisi-puisi Iqbal mengajak kita untuk melihat langit tidak hanya sebagai ruang kosmik, tetapi sebagai lapisan-lapisan batin yang harus dijelajahi dan diatasi. Setiap langit adalah simbol kondisi ruhani yang membutuhkan refleksi dan keberanian untuk dilewati. Dalam Javid Nama, mi’raj bukan tujuan akhir, tetapi proses transformasi yang terus-menerus. Itulah sebabnya ia menutup puisinya bukan dengan kemegahan surga, melainkan dengan kembali ke bumi dengan membawa pesan perubahan. Ini mengingatkan kita bahwa pencapaian spiritual sejati terletak pada kemampuan untuk mentransformasikan dunia.

Dalam dunia yang semakin mekanistik dan cenderung mengabaikan dimensi ruhani, kosmologi sufistik Iqbal menawarkan oase pemikiran yang menyegarkan. Ia tidak sekadar mengajak kita bermeditasi, tetapi juga berpikir dan bertindak. Di tengah kehausan spiritual dan krisis identitas yang melanda umat Islam, puisi-puisi Iqbal menjadi pelita yang menerangi jalan antara langit dan bumi, antara Tuhan dan manusia, antara cinta dan perjuangan. Kosmologi Iqbal bukan sekadar struktur metafisik, tetapi ajakan untuk hidup secara utuh sebagai makhluk yang mencintai, berpikir, dan mencipta.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ibnu Fikri Ghozali

Mahasiswa Prince of Songkla University, Thailand. Pengikut setia Ngaji Filsafat melalui Youtube. Bisa disapa lewat Instagram @ibnualghozali