Kompetensi Pedagogik Kritis Paulo Freire dalam Konteks Kekinian

slider
11 Juli 2025
|
832

Di tengah hingar-bingar dinamika global dan derasnya arus informasi, sistem pendidikan sering kali dihadapkan pada kritik tentang relevansinya. Apakah pendidikan kita benar-benar menyiapkan seseorang untuk menghadapi realitas yang kompleks, ataukan hanya berfungsi sebagai pabrik pencetak tenaga kerja yang patuh pada sistem yang ada?

Pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang pendidikan semakin mendesak di era di mana kesenjangan sosial makin melebar dan ketidakadilan masih menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi kehidupan. Di sinilah pemikiran seorang tokoh pendidikan yang berasal dari Brasil yaitu Paulo Freire, hadir sebagai mercusuar.

Pemikiran Freire tentang pendidikan dapat berfungsi sebagai panduan, sumber pencerahan, dan simbol harapan yang sangat dibutuhkan di tengah berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan. Melalui konsep pedagogi kritis dan visinya tentang pendidikan yang membebaskan, Freire menawarkan kerangka kerja yang tidak hanya relevan, melainkan juga esensial untuk menjawab tantangan pendidikan masa kini.

Memahami Pemikiran Paulo Freire: Akar Pedagogi Kritis

Untuk memahami kedalaman pedagogi kritis Freire, penting untuk melihat sejenak latar belakang dan kritik fundamental terhadap sistem pendidikan tradisional. Paulo Freire tumbuh besar dalam kemiskinan di Brasil, pengalaman yang secara mendalam membentuk pandangannya tentang penindasan dan pentingnya pendidikan sebagai alat pembebasan. Dari sana, ia mengembangkan pemikiran yang menyoroti bagaimana pendidikan, alih-alih membebaskan, justru sering kali melanggengkan struktur penindasan.

Freire secara tegas mengkritik apa yang ia sebut sebagai “pendidikan gaya bank” (banking education). Dalam model ini, pengetahuan diibaratkan seperti uang yang disetorkan oleh guru (sebagai penabung) ke dalam pikiran siswa (sebagai celengan kosong). Prosesnya bersifat satu arah: guru yang mengisi, siswa menerima secara pasif dan menghafal. Freire tentu mengkritik model belajar seperti ini. Ia berargumen bahwa pendekatan ini mengebiri kreativitas, membungkam pertanyaan, dan yang paling krusial yaitu menumpulkan kesadaran kritis siswa.

Siswa diajarkan untuk menerima informasi tanpa mempertanyakan, menjadikan siswa sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam proses belajar dan kehidupan. Dampak akhirnya, pendidikan semacam ini justru melestarikan ketidakadilan, karena siswa tidak pernah diajak memahami akar masalah sosial di sekitar mereka.

Sebagai antitesisnya, Freire mengusulkan “pendidikan hadap masalah” (problem-posing education). Berbeda dengan model bank, pendekatan ini menjadikan guru dan siswa sebagai mitra dalam proses dialogis. Mereka bersama-sama mengidentifikasi masalah-masalah konkret dari realitas hidup, menganalisisnya secara kritis, dan mencari solusi. Tujuan utamanya yaitu mendorong kesadaran kritis (conscientization), yaitu proses di mana individu tidak hanya menyadari situasi non-ideal, tetapi juga memahami sebab-sebab struktural dari penindasan yang dialami, dan sampai akhirnya terdorong untuk bertindak. Pendidikan hadap masalah bertujuan untuk memberdayakan siswa agar menjadi agen perubahan, bukan sekadar penerima informasi pasif.

Kompetensi Pedagogik Kritis ala Freire

Dari pemikiran Freire tentang pendidikan hadap masalah dan penolakannya terhadap pendidikan gaya bank, dapat kita tarik esensinya, yaitu pada kompetensi pedagogik kritis. Hal ini bukan sekadar seperangkat keterampilan mengajar, melainkan sebuah filosofi dan sikap yang mengakar dalam praktik pendidikan. Beberapa hal tentang kompetensi pedagogik kritis menurut Freire, yaitu:

Pertama, humanisasi peserta didik (peserta didik dianggap subjek). Inti dari pedagogi kritis adalah melihat setiap siswa sebagai manusia seutuhnya yang memiliki martabat, potensi, dan kapasitas untuk berpikir serta bertindak. Guru yang kompeten secara pedagogik kritis tidak akan memperlakukan siswa sebagai wadah kosong yang perlu diisi, melainkan sebagai individu yang berdaya, kaya akan pengalaman, dan berhak menjadi subjek dalam proses pembelajaran. Hal ini berarti menghargai suara, pandangan, dan keberadaan mereka.

Kedua, dialogis dan partisipatif. Pendidikan adalah proses dua arah. Guru yang mempraktikkan pedagogi kritis menciptakan ruang dialog yang setara, di mana ide, pertanyaan, dan pandangan dapat saling bertukar tanpa rasa takut akan penghakiman. Diskusi dan partisipasi aktif menjadi jantung pembelajaran, memecah hierarki kaku antara guru dan siswa, serta mendorong kolaborasi dalam pencarian makna.

Ketiga, kontekstual dan relevan. Pembelajaran tidak boleh terlepas dari realitas kehidupan siswa. Kompetensi pedagogik kritis menuntut guru untuk menghubungkan materi pelajaran dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang dialami siswa. Dengan demikian, pengetahuan menjadi bermakna, relevan dan memberdayakan, siswa dapat melihat apa yang mereka pelajari dapat digunakan untuk memahami dan memecahkan masalah di lingkungan mereka.

Keempat, membangkitkan kesadaran kritis (conscientization) sebagai pilar paling fundamental. Guru dengan kompetensi pedagogik kritis memfasilitasi siswa untuk tidak hanya sekadar memahami fakta, melainkan juga menggali mengapa fakta-fakta itu ada. Guru mendorong siswa untuk mempertanyakan norma, struktur sosial, dan ketidakadilan yang mungkin selama ini dianggap lumrah dan biasa. Proses ini membuka mata siswa terhadap akar penindasan dan potensi mereka untuk mengubah realitas.

Kelima, praksis: refleksi dan aksi. Freire menekankan bahwa pendidikan sejati adalah praksis, yaitu hubungan dialektis antara refleksi (pemikiran kritis) dan aksi (tindakan nyata). Kompetensi pedagogik kritis bukan hanya tentang kemampuan menganalisis, melainkan juga memicu keberanian untuk bertindak berdasarkan analisis tersebut. Guru mendorong siswa untuk menerjemahkan pemahaman kritis menjadi tindakan konkret yang bertujuan untuk menciptakan perubahan positif di lingkungan, sekecil apa pun itu.

Relevansi Kompetensi Pedagogik Kritis Freire dalam Konteks Kekinian

Di tengah derasnya gelombang disrupsi dan informasi di abad ke 21, relevansi kompetensi pedagogik kritis Freire justru semakin terang benderang. Ide-idenya tidak lekang oleh waktu, bahkan menjadi semakin krusial untuk menjawab tantangan pendidikan modern.

Perlu diketahui bahwa kurikulum modern menekankan pentingnya keterampilan abad ke-21, yakni 4C (critical thinking/berpikir kritis, collaboration/kolaborasi, creativity/kreativitas, and communication/komunikasi). Kompetensi pedagogik kritis Freire secara inheren menumbuhkan keterampilan-keterampilan ini. Berbeda dengan tren pendidikan yang cenderung hanya berorientasi pada hasil tes atau standar numerik semata, pedagogi kritis menawarkan pendekatan holistik yang membentuk individu yang mampu beradaptasi, berinovasi, dan berkontribusi secara bermakna.

Selain itu, pedagogik kritis memiliki peran vital dalam mengatasi kesenjangan dan ketidakadilan sosial. Di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia, kesenjangan akses dan kualitas pendidikan masih menjadi isu krusial. Kompetensi pedagogik kritis membekali guru untuk memberdayakan siswa dari latar belakang marginal. Dengan menumbuhkan kesadaran kritis, siswa diajak untuk tidak pasrah pada keadaan, melainkan berani menyuarakan hak-hak mereka dan menjadi agen perubahan untuk komunitasnya sendiri, bahkan di era digital dimana informasi dan mobilisasi dapat dilakukan dengan cepat.

Lebih jauh, kompetensi pedagogik kritis mengubah peran guru dan murid di era banjir informasi seperti yang kita rasakan saat ini. Guru tidak lagi berfungsi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, namun guru bertransformasi menjadi fasilitator, teman dialog dan pemandu bagi siswa dalam menjelajahi dan memahami dunia. Sementara itu, siswa diberdayakan menjadi pembelajar mandiri dan agen aktif yang mampu menyaring informasi, berpikir kritis, serta berkontribusi pada solusi masalah sosial di lingkungan mereka.

Gema pedagogi kritis juga terlihat dalam berbagai inisiatif pendidikan alternatif, gerakan literasi komunitas, atau program-program pemberdayaan masyarakat yang fokusnya pada partisipasi aktif dan kesadaran diri. Misalnya, banyak program pendidikan kesetaraan atau sekolah komunitas yang berhasil memberdayakan individu yang sebelumnya terpinggirkan dengan menempatkan pengalaman hidup anak didik sebagai bagian tak terpisahkan dari proses belajar. Hal ini menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip Freire secara nyata dapat diimplementasikan.

Pada akhirnya, kompetensi pedagogik kritis ala Paulo Freire lebih dari sekedar metodologi pengajaran, ini adalah sebuah panggilan moral dan filosofis untuk pendidikan yang lebih baik. Kompetensi pedagogik kritis adalah seruan untuk membebaskan siswa dari belenggu pasif dan menumbuhkan mereka menjadi individu yang mampu berpikir mandiri, berani mempertanyakan status quo, dan berkomitmen untuk mewujudkan keadilan sosial.

Meskipun sistem pendidikan kita mungkin masih didominasi oleh struktur yang menentang (seperti model belajar Banking Education yang masih diterapkan), esensi pedagogi kritis Freire tetap relevan dan urgen. Ia menantang kita untuk merefleksikan kembali apakah pendidikan yang kita jalankan sudah benar-benar memanusiakan manusia, membebaskan dan memberdayakan. Mengadopsi prinsip-prinsip Freire berarti berinvestasi pada pembentukan generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif, melainkan juga berkesadaran sosial, berempati, dan memiliki keberanian untuk menjadi agen perubahan.

Pendidikan, dalam makna Freire bukanlah sekadar transfer of knowledge (memindahkan pengetahuan), melainkan sebagai praksis pembebasan. Dengan kata lain, pendidikan menjadi sebuah proses yang mengubah manusia, dan pada gilirannya yang akan mengubah dunia.

Referensi:

Freire, Paulo. 2024. Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of The Opressed), terj. Y.W. Pradana, Jakarta: Narasi.

Ngaji Filsafat 206: Paulo Freire edisi Filsafat Pendidikan bersama Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag, di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, pada hari Rabu, 17 Oktober 2018.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rahmadani Akbar

Mahasiswa Magister PAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta