Kehilangan dan Duka: Tentang Situasi Batas dan Intensionalitas

slider
16 Oktober 2025
|
439

Andaikan ada sebuah teknologi untuk menghapus ingatan, barangkali saya akan mempertimbangkan untuk menghapus ingatan tentang kehilangan. Ingatan tentang kehilangan sangat merepotkan, karena begitu muncul, diri ini dihadapkan pada sebuah kenyataan yang seakan sulit untuk menerimanya—bahwa yang dulu ada, sekarang sudah tidak ada. Ada harapan yang mendesak-desak, bahwa yang telah pergi akan kembali, tetapi kenyataan justru menghamparkan sunyi yang begitu mencekam—yang telah pergi tidak mungkin kembali. Karenanya, ingatan tentang kehilangan menyebabkan duka yang timbul tenggelam terus-terusan, yang sangat meresahkan dan menggetarkan detik demi detik yang diri ini lewati sehari-hari.

Saya dapat menduga bahwa Anda juga memiliki pikiran dan perasaan yang sama dengan saya. Sebab baik saya maupun Anda sama-sama tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai kehilangan. Setiap dari kita mengalami—atau sekurang-kurangnya menyaksikan—bahwa segala yang hadir di sekitar kita, atau yang kita merasa memilikinya, pada dasarnya menanti waktu untuk meninggalkan kita. Tentu dari semua jenis kehilangan, yang paling menggelapkan hari-hari kita adalah kehilangan orang-orang tercinta—entah kekasih, teman, atau keluarga.

Pada suatu titik, setelah mengalami satu kehilangan, kita menghendaki untuk tidak mengalami kehilangan yang lain. Pada maksud terdasarnya, itu berarti kita tidak ingin kembali mengalami ingatan mengenai kehilangan yang memorak-porandakan malam-malam yang seharusnya kita lalui dengan tidur yang pulas. Tetapi pada kenyataannya kehilangan selalu datang lagi, lagi, dan lagi.

Tahun ini mungkin satu teman Anda meninggal, maka Anda merasakan kehilangan yang begitu menyedihkan. Kemudian Anda berharap untuk tidak kehilangan teman Anda yang lain, tidak lain karena Anda tidak ingin mengulang kesedihan yang sama. Tetapi mungkin tahun depan Anda mengalami kehilangan lagi—kali ini bukan teman Anda yang meninggal, melainkan saudara Anda. Maka mau tidak mau, Anda akan kembali berduka dan terlempar dalam ingatan mengenai kehilangan yang sangat menyesakkan.

Andai pun kelak ada teknologi yang bisa menghapus ingatan mengenai kehilangan, berapa kali kita perlu menghapusnya? Sebab begitu kita menghapus ingatan mengenai satu kehilangan, kita akan mengalami satu kehilangan yang lain. Itu berarti, kita tidak dapat benar-benar lepas dari kehilangan, dan sebagai konsekuensi lanjutannya adalah ingatan tentangnya yang dapat menimbulkan duka.

Secara pribadi melalui tulisan ini bermaksud mengajak bersama untuk merefleksikan mengenai kehilangan dan duka sebagai akibatnya. Adapun yang dimaksud kehilangan di sini harus diperjelas, yaitu kehilangan orang-orang yang kita cintai atau bermakna dalam hidup—entah itu pasangan, sahabat, maupun keluarga. Dimulai uraian mengenai kehilangan sebagai situasi batas, lalu melihat duka sebagai tegangan dalam upaya melupakan peristiwa kehilangan yang justru membuat kita selalu mengingatnya, dan terakhir adalah alternatif untuk melampauinya melalui merelakan yang telah lewat.

Kehilangan sebagai Situasi Batas

Seperti telah disinggung sebelumnya, kita tidak dapat benar-benar lepas dari apa yang disebut kehilangan dan ingatan tentangnya yang dapat menimbulkan duka. Kehilangan adalah peristiwa negatif berupa terputusnya relasi seseorang dengan seseorang yang lain yang begitu bermakna atau begitu dicintai selama kehidupannya. Di dalam peristiwa—baik peristiwa positif maupun peristiwa negatif—manusia tidak menjadi tuan atas dirinya sendiri. Karena kehilangan adalah peristiwa—tepatnya peristiwa negatif—maka manusia juga tidak menjadi tuan atas dirinya sendiri di dalam kehilangan.

Kita tidak dapat menentukan apakah kita harus kehilangan seseorang atau tidak. Kita tidak dapat menentukan siapa harus kehilangan siapa. Kita juga tidak dapat memutuskan apakah kita harus kehilangan seseorang pada hari ini, lusa, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan. Kehilangan selalu bisa datang kapan saja pada setiap manusia. Oleh karenanya, kehilangan dapat diidentifikasi sebagai situasi batas, di mana hal ini selalu melingkupi kesadaran eksistensial kita.

Sejauh kita sadar akan eksistensi diri kita, sejauh itu pula kita sadar mengenai situasi batas. Pengalaman eksistensial akan selalu melibatkan pengalaman terhadap situasi batas. Menurut Karl Jaspers, situasi batas adalah grundsituationen atau situasi dasar, dan oleh karena itu bersifat konstitutif, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari hidup, sehingga tidak mungkin dapat disingkirkan sepenuhnya (Jaspers 1970:178). Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa situasi batas merupakan situasi-situasi yang menyeret kita begitu saja ke dalamnya, dan dengan demikian bersifat pasti terjadi dan pasti kita alami—tanpa pernah kita kehendaki dan kita pun tidak dapat mendobraknya.

Dalam pemikiran filsafat eksistensialisme Karl Jaspers, kenyataan bahwa kita ada sebagai manusia adalah selalu ada-dalam-situasi tertentu yang tidak mungkin kita hindari, sehingga manusia adalah manusia-dalam-situasi (Hassan 1993:112). Secara sederhana, pengalaman terhadap situasi batas mau tidak mau akan dialami setiap individu di sepanjang eksistensinya, sehingga tidak mungkin kita mengelakkan diri darinya bahkan dengan sejuta cara. Karl Jaspers bahkan menegaskan bahwa mengalami situasi batas dan bereksistensi adalah hal yang sama (Bertens 2019:191).

Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa kesadaran eksistensial manusia pada hakikatnya tiada lain merupakan kesadarannya terhadap situasi batas yang dialaminya. Selama manusia sadar akan eksistensinya, maka ia akan sadar terhadap perjuangan, kebersalahan, ketergantungan pada nasib, dan tentu yang paling dramatis adalah terhadap kematian—baik kesadaran terhadap kematian diri sendiri maupun kematian orang lain.

Kehilangan tiada lain merupakan kesadaran kita terhadap kematian orang lain yang sangat kita cintai. Begitu seseorang yang kita cintai telah tiada, maka mau tidak mau kesadaran kita akan mengarah kepadanya. Pada momentum ini kesadaran kita mengarah pada dua situasi batas sekaligus, yaitu terhadap situasi batas berupa kematian orang yang kita cintai—pada dirinya sendiri (an sich)dan situasi batas berupa terputusnya relasi diri kita terhadapnya.

Terhadap yang pertama, kita tidak dapat mengatakan apa-apa lebih jauh. Kematian orang yang kita cintai—secara an sich—merupakan peristiwa yang sudah pasti terjadi begitu saja, dengan kata lain merupakan bagian dari satu kodrat bahwa semua yang hidup pasti mati. Ketika orang yang kita cintai telah tiada, kita hanya bisa mengatakan—paling mentok—bahwa kini ia sudah tidak lagi hidup, bahwa kini ia tidak dapat lagi menikmati hari-harinya, dan bahwa kini ia telah dikuburkan.

Apa yang membuat kita merasa kehilangan adalah perihal yang kedua, yaitu kesadaran terhadap situasi batas berupa terputusnya relasi kita terhadapnya. Kesadaran ini terbentuk melalui interaksi terhadap kesadaran sebelumnya, yaitu terhadap kematian orang yang kita cintai—secara an sich. Memang benar kita tidak dapat mengatakan apa-apa lebih jauh tentang kematian yang an sich itu. Namun demikian, begitu kesadaran kita mengarah kepadanya, maka pada saat yang bersamaan pula kita akan menyadari bahwa relasi kita terhadap orang yang kita cintai itu telah terputus.

Hal ini dikarenakan kita sangat memahami bahwa meskipun orang yang telah tiada itu adalah yang lain, bagaimanapun ia tetaplah orang yang kita cintai—yang pernah terlibat dalam keseharian dan waktu-waktu yang kita lalui. Secara an sich ia tampak sebagai bukan bagian dari diri kita, tetapi karena ia terlibat di sepanjang waktu dan keseharian kita maka ia sekaligus tampak sebagai bagian kecil dari keseluruhan diri kita—maksudnya di sini bagian daripada aktualisasi diri kita sendiri.

Sebagai ilustrasi, katakanlah Anda memiliki seorang kekasih. Lalu pada suatu ketika ia meninggal. Pada saat prosesi pemakamannya, kesadaran Anda mengarah pada kematiannya secara an sich, yaitu Anda menyadari bahwa kini ia telah benar-benar tiada. Tetapi pada saat yang sama pula, Anda menyadari bahwa relasi Anda terhadapnya kini sudah benar-benar terputus. Anda sudah dapat dengan pasti mengerti bahwa hari-hari mendatang Anda tidak dapat lagi jalan bersamanya, menonton bioskop, atau ke taman seperti yang selama ini telah kalian lalui bersama.

Betapa pun kekasih Anda itu adalah yang lain, karena ia pernah terlibat dalam keseharian dan waktu-waktu Anda maka Anda merasa bahwa ia tiada lain adalah bagian kecil dari diri Anda sendiri. Ketika ia berbahagia maka Anda ikut berbahagia. Begitu pula sebaliknya, ketika ia bersedih maka Anda pun akan ikut bersedih. Dan ketika ia telah tiada, maka mendadak Anda merasa ada sesuatu yang kurang dari diri Anda sendiri. Mungkin Anda akan merasa segalanya tampak berubah, merasa bahwa waktu dan dunia tidak lagi sama, tampak kacau balau, bahkan mungkin merasa kosong, tanpa arah, dan tanpa makna.

Perubahan cara pandang terhadap dunia dan terhadap hidup pasca kehilangan terjadi karena guncangan realitas yang mesti kita hadapi. Kita telah mendapati perubahan realitas yang begitu tiba-tiba, yaitu kesadaran kita terhantam oleh suatu kenyataan bahwa hari-hari yang akan kita lewati menjadi lebih sunyi. Kemudian pada suatu titik kita merasa tidak ada lagi semangat untuk melanjutkan kehidupan, karena orang yang begitu kita cintai yang selama ini menemani dan memberi semangat untuk kita telah meninggalkan kita dalam kesendirian.

Beberapa dari kita mungkin akan terlarut-larut dalam guncangan pasca kehilangan, tetapi beberapa dari kita mungkin pula berupaya sekuat tenaga untuk melupakan semuanya—kita ingin benar-benar melepaskan diri dari semua masa lalu dan dengan demikian dari ingatan mengenai kehilangan. Namun, sering bahwa upaya melupakan itu justru membuat kita semakin mengingat kehilangan itu sendiri, yang pada akhirnya membuat kita tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung.

Duka: Antara Melupakan dan Mengingat

Peristiwa kehilangan telah berlalu untuk sekian lama, tetapi bayang-bayangnya masih sering mengikuti kita. Bayang-bayang itu sedemikian gelapnya, hingga pada suatu kesendirian dan kesepian kita mengingat-ingat kembali momen-momen yang pernah kita lewati bersama orang-orang yang kita cintai. Tetapi kemudian kita menyadari bahwa kini mereka telah pergi. Namun, entah mengapa kehadirannya masih begitu terasa. Seolah-olah kita bisa melihatnya duduk di kursi taman, bersendau gurau di ruang keluarga, dan pada denting piring dan garpu di dapur. Bayang-bayang kehilangan semacam itu selalu mengikuti kita, dan inilah yang saya maknai sebagai duka.

Basis duka adalah peristiwa kehilangan itu sendiri. Namun, duka bukanlah peristiwa. Sebaliknya, duka merupakan respons terhadap peristiwa—dalam hal ini peristiwa kehilangan. Respons tersebut berupa pembekuan ingatan tentang peristiwa kehilangan yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan kembali, dan sering kali saat pemunculan kembali itu kesadaran kita melebih-lebihkan sisi-sisi kepedihan dari ingatan tersebut. Hal ini dapat terjadi tiada lain karena kesadaran kita yang bersifat intensionalitas.

Dalam fenomenologi Edmund Husserl, intensionalitas berarti keterarahan kesadaran pada sesuatu, dan apa yang dimaksud sesuatu di sini tidak hanya berupa objek materiil, tetapi juga yang bersifat non-materiil seperti imajinasi, konsep-konsep, dan fantasi (Prajna-Nugroho 2022:159-160).

Berdasarkan konsepsi intensionalaitas ini, dapat dikatakan bahwa kesadaran selalu mengarah kepada yang di luar dirinya atau kepada yang lain. Karenanya, kesadaran bersifat selalu terbuka terhadap yang lain itu, dan dengan demikian berinteraksi secara terus menerus terhadapnya. Konsepsi intensionalitas, yang menyatakan bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sentral di dalam filsafat fenomenologi Edmund Husserl (Smith 2007:193).

Dalam fase berduka, kesadaran selalu terarah pada peristiwa kehilangan itu sendiri, yang dalam mekanismenya melibatkan tegangan antara keinginan melupakan dan pengingatan kembali. Ketika kita berupaya untuk melupakan, artinya ada sesuatu yang harus dilupakan—dalam hal ini adalah peristiwa kehilangan itu sendiri. Maka, dalam upaya melupakan mengharuskan terjadinya proses pemanggilan kembali ingatan mengenai suatu peristiwa.

Saat kita berupaya melupakan peristiwa kehilangan, peristiwa tersebut justru berkelebatan dalam kesadaran kita. Dengan demikian, semakin keras upaya yang kita lakukan untuk melupakan peristiwa kehilangan, pada saat yang bersamaan justru semakin kuat pula ingatan kita terhadap peristiwa kehilangan itu sendiri.

Secara lebih jauh, fase berduka juga melibatkan terarahnya kesadaran pada apa yang ada di balik peristiwa kehilangan. Apa yang ada di balik peristiwa kehilangan tiada lain adalah keinginan-keinginan bersama orang yang kita cintai, atau angan-angan yang sempat direncanakan, tetapi tidak dapat dilaksanakan lantaran orang yang kita cintai telah meninggalkan kita.

Ketika berduka, semua keinginan dan angan itu terus menerus mendesak-desak ke dalam kesadaran kita, membuat kita bertanya-tanya mengapa semua ini harus terjadi, dan mendorong imajinasi kita untuk terus menerus membuat pengandaian-pengandaian. Tapi kita sendiri pada akhirnya mendapati kenyataan yang terhampar bahwa semua pengandaian itu mustahil terwujud. Dan tepat karena hal itu, duka dapat terasa begitu menyiksa bagi individu yang sedang dideranya.

Sebagai ilustrasi, mari kita lanjutkan ilustrasi tentang kekasih Anda yang sudah saya ajukan sebelumnya. Beberapa waktu telah berlalu sejak kekasih Anda meninggal dunia. Selama itu pula, kesadaran Anda selalu terarah kepadanya. Anda berupaya keras untuk melupakannya, tiada lain untuk meyakinkan diri Anda sendiri bahwa dia telah benar-benar tiada.

Namun, dalam upaya melupakan itu, Anda justru semakin mengingat momen-momen indah yang telah kalian lalui bersama—entah itu di pantai, di bioskop, di kafe, atau di taman kota. Momen-momen itu berkelebatan seperti tayangan televisi yang terhampar di hadapan Anda, membuat Anda semakin susah untuk move on—untuk melupakannya. Ia telah tiada, tapi Anda merasa kehadirannya masih menyertai Anda.

Mungkin Anda akan mengingat kembali impian-impian yang pernah kalian rencanakan bersama, yang terpaksa pupus karena kepergiannya. Lalu Anda membuat beberapa pengandaian—andai saja ia masih ada di samping Anda, barangkali impian-impian itu akan bisa diwujudkan. Tapi kini ia telah benar-benar pergi. Maka kemudian Anda semakin tenggelam dalam duka, dengan kesadaran bahwa masih banyak hal yang tertinggal darinya, yang belum sepenuhnya terwujud, padahal semua itu pernah menjadi impian kalian bersama.

Peristiwa kehilangan dialami semua individu, begitu pula duka sebagai akibatnya. Namun, tebal atau tipisnya duka itu sendiri dapat berbeda bagi satu individu dengan individu yang lain. Mekanisme terarahnya kesadaran terhadap peristiwa kehilangan itu, pada saat yang sama menuntut adanya pemaknaan dari kesadaran individu itu sendiri. Hal ini dapat terjadi tiada lain karena kesadaran adalah kesadaran milik individu itu sendiri.

Sebuah analogi untuk memudahkannya, bayangkan Anda duduk bersama saya di sebuah tepi pantai. Di depan kita terhampar lautan yang demikian luasnya. Kita juga sama-sama menyaksikan debur ombak yang menyapu karang dan kaki-kaki kita, dan burung-burung yang terbang berputar-putar di cakrawala sebelum akhirnya pergi entah ke mana. Kesadaran kita sama-sama terarah pada hamparan lautan itu dengan segala fenomenanya, tetapi pemaknaan kita dapat berbeda.

Sebab kesadaran saya adalah milik saya, sementara kesadaran Anda adalah milik Anda. Maka sangat mungkin terjadi bahwa saya akan memaknai lautan itu indah karena keluasannya, sementara Anda justru memaknai lautan itu menyeramkan karena kedalamannya. Mungkin saya merasa begitu damai ketika mendengar debur ombak, sementara Anda merasa ngeri ketika mendengarnya.

Serupa hal itu, pengalaman duka menjadi pengalaman yang otentik bagi individu itu sendiri. Oleh karena itulah, ada yang berduka sedemikian lama, tetapi ada pula yang berduka dalam waktu yang singkat. Namun demikian, betapa pun berbedanya pengalaman duka bagi satu individu itu dengan individu lain, kesadaran kita tetap selalu terarah pada peristiwa kehilangan. Betapa pun kita merasa telah melupakannya, pada suatu waktu ingatan kita dapat memunculkan kembali peristiwa kehilangan itu, sehingga kita pun dapat kembali terhanyut dalam duka.

Peristiwa kehilangan tetap membeku dalam diri individu, yang suatu waktu dapat mencair, sehingga membuat kenangan-kenangan pahit yang ingin kita lupakan tidak pernah benar-benar pergi dari diri kita. Kenangan-kenangan pahit itu telah menyatu dengan diri kita sendiri untuk sekian lama, dan selama itu pula telah turut berperan dalam mengonstruksi aktualisasi diri kita.

Merelakan yang Telah Lewat

Kehilangan dan duka, tidak bisa tidak sering membuat kita mengalami mimpi-mimpi buruk. Malam-malam yang kita lalui terasa hampa dan tidak begitu menyenangkan. Ketika kita membuka mata dari tidur malam yang terasa sangat panjang, kita sepenuhnya menyadari bahwa ada hari-hari yang tetap harus kita lalui meski tanpa orang-orang yang kita cintai. Terasa berat, tetapi kehidupan terus berjalan dan waktu terus bergulir tanpa bisa kita hentikan.

Sementara itu, jejak yang ditinggalkan orang yang kita cintai itu telah membekas seperti relief yang terukir dalam diri kita. Selama kita berupaya melanjutkan kehidupan, selama itu pula orang yang kita cintai masih terasa kehadirannya, meski sebenarnya ia telah pergi cukup lama. Dan, kita merasa tidak dapat melepaskan diri dari itu semua. Sebab begitu kita berupaya semakin keras untuk terlepas dari duka, justru kita semakin mengingat peristiwa kehilangan sehingga semakin dalam pula duka yang kita rasakan.

Alternatif yang tersedia adalah membiarkan diri matang oleh waktu. Tidak ada ukuran pasti mengenai berapa lama waktu yang diperlukan, karena tebal atau tipisnya duka berbeda bagi satu individu dengan individu yang lain. Mungkin Anda perlu waktu berbulan-bulan, sementara saya memerlukan waktu bertahun-tahun dan bahkan mungkin di sepanjang hidup. Membiarkan diri matang oleh waktu berarti membiarkan diri ini merasakan duka dan menerimanya apa adanya sebagai akibat dari peristiwa kehilangan yang tak terhindarkan. Dengan kata lain, kita merelakan apa yang telah lewat.

Merelakan bukanlah menyangkal atau menolak. Menyangkal atau menolak berarti berupaya menendang paksa sesuatu yang tidak kita inginkan untuk keluar dari kehidupan kita. Sementara merelakan, artinya membiarkan apa yang hendak datang itu tetap datang, meski bila yang datang itu adalah hal-hal negatif seperti rasa sakit, kehilangan, dan tentunya duka. Namun demikian, merelakan bukanlah menerima semua hal negatif itu begitu saja, melainkan kita sekaligus berupaya melampauinya. Kita bersikap ya sekaligus tidak terhadapnya.

Kita membiarkannya ada di dalam diri kita, tetapi pada saat yang sama kehendak kita tetap mengarah ke masa depan—ke arah lautan luas yang belum semuanya kita arungi, ke arah daratan yang belum semuanya kita jelajahi, dan ke arah cakrawala yang belum semuanya kita saksikan bintang-bintangnya yang gemerlapan. Hal ini seperti aforisme yang ditulis Nietzsche dalam Zarathustra pada bab Nyanyian Pemakaman seperti berikut: “Sungguh, kalian mati terlalu cepat, kalian para buronan. Namun kalian tidak lari dariku, tidak juga aku lari dari kalian: kita sungguh polos terhadap satu sama lain dalam ketidaksetiaan kita” (Nietzsche 2015:163).

Aforisme Nietzsche itu, pas untuk menggambarkan bagaimana merelakan apa yang telah lewat—dalam hal ini kehilangan dan duka. Setiap orang yang kita cintai, pada dasarnya adalah buronan maut, sehingga suatu saat pasti akan meninggalkan kita. Namun, ketika orang yang kita cintai itu telah pergi, ia tetaplah tidak lari dari kita, dengan kata lain jejak-jejak kehadirannya mengendap dalam diri kita.

Sementara itu, kita juga tidak lari darinya, dengan kata lain kita tidak dapat terlepas dari bayang-bayang kehadiran orang yang kita cintai yang telah meninggalkan kita. Baik kita maupun orang yang kita cintai sungguh polos satu sama lain dalam ketidaksetiaan, dengan kata lain terikat dalam kepastian bahwa tidak ada hubungan yang abadi karena pada dasarnya semua hanya tentang waktu yang tepat untuk berpisah satu sama lain.

Kehilangan dan duka itu mesti menjadi bahan transformasi personal kita. Kita mesti mengafirmasi ketika kehilangan dan duka itu datang kepada kita. Kita menerimanya dengan tangan terbuka. Namun, pada saat yang sama, kita tidak berupaya memeluknya erat-erat, tidak pula mendorongnya menjauh dari kita. Justru kedatangannya seharusnya kita terima apa adanya—sebagai bagian dari hidup itu sendiri—yang pada saat bersamaan menjadi bahan untuk kita menjadi lebih baik lagi, melampaui diri kita sendiri pada hari ini.

Untuk itu, kita memerlukan apa yang disebut kepolosan penerimaan, serupa dengan bentuk kepolosan bayi. Kepolosan penerimaan yang serupa dengan kepolosan bayi adalah cerminan sikap apa adanya kepada apa saja yang datang, yaitu kita menerimanya, tetapi kita tidak terhanyut sepenuhnya, karena ada hal-hal yang kita tidaki dan hendak kita lampaui, sehingga dengan penerimaan semacam itu transformasi diri dimungkinkan dan nilai baru dapat dimunculkan (Wibowo 2021:107-108).

Sikap transformasi diri dapat dilakukan salah satunya melalui medium bahasa. Misalnya, bahasa dapat kita manfaatkan untuk bercerita tentang kehilangan dan duka yang kita alami pada orang yang kita anggap dapat menjadi pendengar yang baik.

Bercerita tentang kehilangan dan duka berarti wujud penerimaan kita terhadap kehilangan dan duka itu sendiri, sekaligus sebagai wujud penolakan untuk berlarut-larut di dalamnya. Dengan berbagi cerita semacam itu, dimungkinkan bagi kita untuk lebih jernih dalam mengonstruksi sesuatu yang baru, entah itu pandangan hidup maupun tujuan kita untuk hari-hari selanjutnya.

Apabila kita tidak begitu yakin akan adanya orang yang dapat menjadi pendengar yang baik, kita dapat memanfaatkan bahasa untuk mencurahkan segala kegelisahan kita terhadap kehilangan dan duka melalui bentuk lain. Misalnya, dalam bentuk karya sastra dan seni. Sastra—puisi misalnya—memungkinkan kita memanfaatkan teks untuk menyelundupkan segala kegelisahan kita tentang kehilangan dan duka. Sementara itu, melalui seni—seni musik misalnya—kita dapat melakukan hal yang sama melalui nada-nadanya.

Sebab, apabila bahasa dimaknai sebagai segala simbol yang menyimpan makna, maka baik sastra maupun seni pada dasarnya adalah sama-sama bahasa, hanya saja berbeda bentuknya. Oleh karenanya, keduanya dapat sama-sama menjadi medium untuk mencurahkan kesedihan maupun kegelisahan kita terhadap kehilangan dan duka.

Kehilangan dan duka tiada lain adalah bagian daripada hidup itu sendiri. Keduanya dapat datang kapan saja dan kepada siapa saja. Karenanya, keduanya tidak mungkin kita hindari. Kita mesti menerimanya apa adanya, dengan segala keterbukaan sekaligus dengan segala gairah untuk menjadikannya batu tolakan yang mendorong kita untuk melampaui diri kita sendiri. Kehilangan dan duka pasti terjadi, demikian pula waktu yang terus bergulir.

Referensi:

Bertens, Kees. 2019. Filsafat Barat Kontemporer Jilid I: Inggris dan Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hassan, Fuad. 1993. Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Jaspers, Karl. 1970. Philosophy, Volume 2. Translated by E. B. Aston. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Nietzsche, Friedrich. 2015. Zarathustra. Transalated by H. B. Jassin, dkk. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea.

Prajna-Nugroho, Ito. 2022. “Edmund Husserl: Fenomenologi Sebagai Lembaran Baru Filsafat.” Pp. 156–62 in Cara Kerja Ilmu Filsafat dan Filsafat Ilmu: Dari Dialektika ke Dekonstruksi, edited by A. S. Wibowo. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Smith, David Woodruff. 2007. Husserl. London: Routledge.

Wibowo, A. Setyo. 2021. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Femas Anggit Wahyu Nugroho

Lahir di Pati, Jawa Tengah. Mahasiswa Universitas Muria Kudus. Pengikut setia Ngaji Filsafat melalui Youtube. Penyuka seni, sastra, dan filsafat. Beberapa tulisannya dimuat di media online lain