Karamah: Antara Anugerah Ilahi dan Ujian Kesalehan
Dalam khazanah spiritual Islam, ada satu konsep yang senantiasa menjadi bahan perenungan sekaligus terkadang memunculkan kontroversi, yaitu karamah. Istilah ini sering terdengar dalam pembicaraan seputar wali, tokoh-tokoh suci yang diyakini memiliki kedekatan khusus dengan Allah SWT. Karamah sering dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa luar biasa yang melampaui batas nalar manusia. Namun, sesungguhnya karamah bukan hanya tentang keajaiban fisik atau kemampuan supranatural. Lebih dalam dari itu, karamah adalah cerminan kedalaman iman, kebersihan hati, dan ketulusan ibadah seorang hamba kepada Tuhannya.
Sebagai fenomena spiritual, karamah memiliki kedudukan yang unik. Ia bukanlah tujuan, melainkan buah dari perjalanan ruhani yang panjang dan penuh perjuangan. Karamah bisa menjadi tanda kemuliaan seorang wali, namun pada saat yang sama juga merupakan ujian untuk menakar kesungguhan dan kerendahan hati sang penerima.
Dalam berbagai riwayat, kita justru melihat bahwa para wali yang mendapat karamah kerap kali menutup-nutupinya agar tidak menimbulkan fitnah. Hal ini menjadi isyarat bahwa karamah bukan untuk dipamerkan, melainkan dijaga sebagai rahasia antara hamba dan Tuhannya.
Ragam Kejadian Luar Biasa dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, tidak semua kejadian luar biasa dikategorikan sebagai karamah. Ada klasifikasi yang membedakan jenis-jenis peristiwa yang melampaui kebiasaan alam (khawariqul ‘adah). Mukjizat, misalnya, adalah kejadian luar biasa yang diberikan kepada para nabi sebagai bukti kebenaran risalah yang diterima.
Sementara itu, irhas adalah bentuk mukjizat ringan yang muncul pada calon nabi sebelum diangkat secara resmi. Ma’unah adalah bantuan Allah yang diberikan kepada orang biasa dalam keadaan tertentu, seperti selamat dari bahaya yang mengancam. Sedangkan istidraj adalah jebakan dalam bentuk kemudahan luar biasa yang diberikan kepada orang zalim sebagai bentuk azab tersembunyi.
Di sisi lain, ada pula kejadian luar biasa yang berasal dari kekuatan jahat, seperti sihir, yang dilakukan oleh para penyihir dan digunakan untuk tujuan merusak. Ada juga ihaanah, yaitu kejadian luar biasa yang justru digunakan untuk merendahkan derajat seseorang di hadapan manusia maupun Allah SWT.
Dalam kerangka khawariqul ‘adah inilah kita memahami bahwa tidak semua yang tampak hebat dan luar biasa berasal dari kebaikan atau kedekatan kepada Allah. Oleh karena itu, sikap selektif dan kritis perlu dimiliki dalam menyikapi fenomena-fenomena tersebut agar kita tidak mudah terkecoh oleh tampilan lahiriah semata.
Secara bahasa, “karamah” berarti kemuliaan atau kehormatan. Dalam konteks spiritualitas Islam, karamah merujuk pada kejadian luar biasa yang dialami oleh seorang wali sebagai bukti kedekatannya kepada Allah SWT. Berbeda dengan mukjizat yang berfungsi sebagai legitimasi kenabian, karamah tidak memiliki misi penyampaian wahyu, melainkan lebih sebagai penanda bahwa seseorang berada dalam jalan yang diridhai Allah. Namun demikian, karamah bukanlah sesuatu yang dicari, diminta, atau dibanggakan. Justru, bagi wali sejati tidak peduli apakah ia memiliki karamah atau tidak, karena orientasinya bukan pada fenomena, melainkan pada Allah semata.
Hakikat dari karamah tidak terletak pada aspek fisiknya, melainkan pada dimensi batin yang melatarbelakanginya. Karamah muncul bukan karena kekuatan sang wali, tetapi murni karena kehendak Allah yang ingin menunjukkan kemuliaan hamba-Nya. Maka dari itu, karamah bukanlah hasil dari latihan spiritual tertentu, melainkan buah dari keistiqamahan, ketaatan, dan ketulusan ibadah yang dijalani secara konsisten. Dalam beberapa pendapat ulama tasawuf, justru karamah terbesar adalah kemampuan untuk tetap taat kepada Allah dalam segala kondisi, bukan sekadar bisa berjalan di atas air atau mengetahui hal-hal gaib.
Sikap yang Tepat terhadap Karamah
Menanggapi karamah memerlukan kebijaksanaan. Terdapat tiga sikap yang umum dijumpai di tengah masyarakat yaitu ifrath (berlebihan), tafrith (menolak total), dan hikmah (seimbang dan bijak). Mereka yang berada pada posisi ifrath sering kali menyanjung para wali secara berlebihan, bahkan hingga ke taraf mengkultuskan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh wali tersebut dianggap suci, tak mungkin salah, dan dijadikan dasar legitimasi tindakan. Ini adalah sikap yang berbahaya, karena dapat mengarah pada syirik tersembunyi dan menciptakan figur idola yang tak boleh dikritik.
Sementara itu, tafrith adalah sikap sebaliknya, meremehkan dan bahkan menolak seluruh kemungkinan adanya karamah. Bagi kelompok ini, semua fenomena luar biasa dianggap sebagai tahayul atau sihir semata. Padahal, Al-Qur’an sendiri telah mencatat sejumlah peristiwa karamah, seperti kisah Maryam yang mendapat buah dari langit (QS. Ali Imran 37), atau Ashabul Kahfi yang tidur ratusan tahun (QS. Al-Kahfi 11 dan 25).
Sikap hikmah adalah yang paling ideal, yakni menjadikan karamah sebagai pelajaran spiritual yang memperkuat iman dan keyakinan kita kepada kekuasaan Allah, tanpa jatuh ke dalam ekstremisme keyakinan maupun skeptisisme yang kering.
Karamah memiliki sejumlah fungsi dalam kehidupan spiritual seorang wali dan masyarakat di sekitarnya. Pertama, ia berfungsi untuk meningkatkan iman si penerima. Dengan adanya karamah, seorang wali semakin yakin bahwa jalan yang ia tempuh adalah benar dan diridhai oleh Allah. Ia juga akan semakin takut untuk keluar dari garis ketaatan, karena merasa berada dalam pengawasan langsung dari Tuhan.
Kedua, karamah bisa menjadi penguat keyakinan masyarakat terhadap kebenaran sang wali. Hal ini penting terutama dalam konteks sosial, di mana seseorang memerlukan legitimasi spiritual untuk membawa umat kepada kebenaran.
Namun perlu diingat, karamah bukanlah sesuatu yang harus dicari atau dijadikan tujuan. Bahkan, banyak ulama sufi yang justru takut ketika mendapat karamah, karena khawatir itu adalah ujian dalam bentuk keistimewaan. Mereka khawatir jika karamah malah menjadikan tinggi hati, merasa lebih dekat kepada Tuhan dibanding orang lain, atau menjadi tujuan utama dalam laku spiritual mereka. Inilah sebabnya, dalam banyak kasus, para wali menyembunyikan karamah mereka dan tidak pernah menyebutnya secara terbuka.
Jenis-Jenis Karamah: Hissiyah dan Ma’nawiyah
Karamah bisa dibedakan menjadi dua jenis utama yaitu karamah hissiyah dan karamah ma’nawiyah. Karamah hissiyah bersifat fisik dan dapat disaksikan oleh orang banyak, seperti berjalan di atas air, berbicara dengan binatang, atau menyembuhkan orang sakit dengan cara yang luar biasa. Ini adalah jenis karamah yang paling banyak dikenal masyarakat, karena tampak nyata dan menggugah rasa kagum.
Namun, banyak ulama sufi, seperti Abu Yazid Al-Busthomi dan Al-Randi, memandang bahwa karamah jenis ini tidak istimewa, karena bisa saja dilakukan oleh orang yang tidak dekat dengan Allah melalui jalur sihir atau istidraj.
Sebaliknya, karamah ma’nawiyah adalah jenis karamah yang lebih tersembunyi dan tidak tampak secara lahiriah. Karamah ini berkaitan dengan kebersihan hati, kekuatan keyakinan, keistiqamahan dalam ibadah, dan kemampuan menyembunyikan kebaikan. Seorang yang istiqamah dalam memandang yang baik (mata), mendengar yang baik (telinga), berkata benar (lisan), serta mampu menjaga qalbu dari penyakit hati adalah pemilik karamah sejati. Bahkan Ibn Arabi dalam Futuhat Makkiyah menyebut bahwa karamah sesungguhnya adalah ketika qalbu seseorang mampu menyelami rahasia alam semesta dan terhubung langsung dengan cahaya Ilahi.
Mengenali Tanda-Tanda Wali Allah
Karamah sering menjadi indikator adanya wali di tengah masyarakat. Namun bagaimana sebenarnya kita mengenali sosok wali? Dalam tradisi tasawuf, seorang wali tidak selalu dikenal atau dipuja oleh masyarakat. Ia bisa saja hidup sederhana, tak dikenal orang, dan tidak menonjol secara sosial. Justru, salah satu tanda utama seorang wali adalah bahwa ketika kita melihatnya, hati kita teringat kepada Allah. Sosoknya menenangkan, ucapannya menyejukkan, dan hidupnya penuh kesederhanaan.
Wali Allah juga memiliki ciri-ciri spiritual yang khas yaitu takwa yang tinggi, kasih sayang kepada sesama, sabar dalam ujian, serta budi pekerti yang luhur. Ia senang bermunajat di malam hari, menangis dalam zikir, dan memiliki keyakinan yang begitu kuat hingga mampu mengguncang ‘gunung’ kesulitan dalam hidupnya.
Dalam banyak kisah, para wali justru tidak menonjolkan diri. Jika mereka meninggal, tak banyak yang tahu. Namun jejak ruhani mereka tetap hidup dalam ketenangan dan keberkahan yang mereka tinggalkan.
Karamah sebagai Ujian Spiritualitas
Karamah memang terlihat menakjubkan, tetapi sesungguhnya ia juga adalah bentuk ujian. Allah bisa saja memberikan keistimewaan kepada hamba-Nya, bukan untuk dimuliakan, melainkan untuk melihat apakah ia tetap istiqamah atau malah terjebak dalam kesombongan. Maka dari itu, karamah bisa menjadi sumber kerendahan hati, atau sebaliknya, menjadi sebab kehancuran spiritual jika tidak disikapi dengan benar. Dalam banyak kasus, karamah bisa membuat seseorang lupa bahwa ia hanyalah perantara, bukan pemilik kekuatan itu sendiri.
Para ulama sufi menekankan bahwa karamah yang tidak disertai dengan keridhaan terhadap Allah dan sikap tawadhu, justru akan menjerumuskan seseorang. Oleh karena itu, para wali sejati bersandar bukan pada keajaiban, melainkan pada amal kebajikan, ibadah, dan sikap hati yang lurus. Mereka memahami bahwa hakikat dari semua kejadian luar biasa adalah kehendak Allah semata. Dengan demikian, karamah tidak menjadikan mereka tinggi hati, tetapi justru semakin membuat mereka merasa kecil di hadapan kebesaran-Nya.
Menyelami Makna Terdalam dari Karamah
Karamah bukan sekadar cerita menakjubkan dalam sejarah Islam, melainkan refleksi dari hubungan yang dalam antara seorang hamba dan Tuhannya. Ia adalah bentuk pemuliaan sekaligus ujian, anugerah sekaligus tanggung jawab. Dalam dunia yang semakin rasional dan skeptis terhadap yang gaib, keberadaan karamah menjadi pengingat bahwa dimensi spiritual tidak boleh diabaikan. Ia menunjukkan bahwa terdapat sisi kehidupan yang hanya bisa dipahami oleh hati yang bersih dan akal yang tunduk kepada kebenaran Ilahi.
Memahami karamah secara filosofis dan spiritual mengajak kita untuk lebih fokus pada substansi daripada tampilan, lebih mendalami keikhlasan daripada sekadar prestasi spiritual yang tampak. Jika seseorang memperoleh karamah, maka itu adalah bonus dari Allah atas kesalehannya. Namun jika tidak, sejatinya tidak mengurangi sedikit pun nilai ibadah dan kedekatan seorang hamba. Sebab, karamah sejati adalah tetap taat kepada Allah, dalam suka maupun duka, dalam keterbatasan maupun kelapangan. Dan itulah kemuliaan yang sesungguhnya.
Referensi:
Ngaji Filsafat 377: Karamah edisi Muhasabah Akhir Tahun bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 21 Desember 2022.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-8 Desember 2024