Isaiah Berlin: Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
Isaiah Berlin lahir pada 6 Juni 1909 di Kota Riga, Latvia, yang saat itu merupakan ibu kota provinsi Kekaisaran Rusia, dari keluarga Yahudi-Rusia yang kaya. Riga merupakan kota yang relatif stabil hingga pecahnya perang pada 1914, yang memicu gelombang baru antisemitisme, yang mendorong keluarga Berlin pindah ke Rusia.
Keluarga Berlin akhirnya menemukan rumah sementara di Petrograd, tempat Berlin muda menyaksikan secara langsung Revolusi Februari dan Oktober 1917. Ayahnya, Mendel, mengelola bisnis kayu. Meskipun terjadi pergolakan revolusi, tetapi ia merasa terpenjara di kota yang dikuasai oleh Bolshevik dan keluarganya akhirnya memutuskan untuk bermigrasi ke Inggris.
Setelah menetap di London pada 1921, Berlin bersekolah di St. Paul antara 1922 dan 1928. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Corpus Christi College, Oxford, untuk mempelajari filsafat, sejarah, politik, dan ekonomi. Pada 1932, segera setelah lulus, Berlin menjadi dosen filsafat di New College. Hal ini segera diikuti oleh penerimaannya sebagai awardee beasiswa di All Soul College, pada usia 23 tahun dan menjadi orang Yahudi pertama yang memegang jabatan tersebut.
Berlin sering melakukan pertemuan Mingguan dengan para filsuf muda lainnya, termasuk A.J. Ayer, J.L. Austin, dan Stuart Hampshire, di kamarnya pada pertengahan 1930an. Ia memainkan peran penting dalam kebangkitan dan pembaharuan filsafat Oxford dan Inggris pasca perang.
Di periode yang sama, Berlin juga mengembangkan minat dalam pemikiran politik, karena krisis yang semakin dalam di Eropa tahun 1930an. Setelah menerima tawaran untuk menulis monograf pengantar tentang Karl Marx pada 1933, ia dengan giat membaca dan membangun “modal intelektual yang akan ia andalkan selama sisa hidupnya.” Ia menyerahkan naskah terakhir berjudul Karl Marx: His Life and Enviroment pada 12 September 1938, kurang dari tiga Minggu sebelum Perjanjian Munich atas pendudukan Jerman di Sedatenland.
Begitu perang meletus, ia mulai mencari cara untuk berkontribusi pada upaya perang negara angkatnya melawan Nazi Jerman. Sayangnya Berlin yang cacat fisik di lengan kirinya menyebabkan ia ditolak untuk bekerja sebagai prajurit. Namun begitu, ia akhirnya mendapatkan tawaran jabatan di New York untuk menjadi analis opini publik di Amerika dan membantu London untuk menantang isolasionisme Amerika. Filsuf yang beralih menjadi diplomat ini dengan cepat memobilisasi pesona pribadinya dan membangun koneksi yang kuat.
Berkat kemampuannya itu, Berlin ditawarkan pekerjaan lain dalam layanan publik di Kedutaan Inggris Moskow antara September 1945 dan Januari 1946. Ia melihat sekilas kehidupan di bawah pemerintahan Stalinis dan apa yang ia anggap sebagai sisa tradisi Rusia pra-Bolshevik, yang menjelma dalam pribadi penyair Anna Akhmatova dan Boris Pasternak.
Berlin akhirnya kembali ke Oxford pada April 1946 untuk melanjutkan karier akademisnya di bidang politik dan sejarah. Berlin kemudian dikenal sebagai intelektual publik yang banyak dicari di Inggris pasca perang dan sekitarnya. Ia membuktikan kualitasnya sebagai seorang intelektual revormis dengan menjabat sebagai Presiden Wolfson College, Oxford, antara 1966 dan 1975, dan juga sebagai Presiden British Academy antara 1974 dan 1978. Pada saat kematiannya pada 1997 di usianya yang ke-88 tahun, ia digadang-gadang setara dengan seorang santo.
Two Concepts of Liberty
Isaiah Berlin menulis Two Concepts of Liberty (1958) sebagai ajakan kepada para filsuf untuk keluar dari ruang belajar dan terlibat aktif dalam dinamika politik yang kacau. Peran penting yang diberikan Berlin kepada para filsuf: memastikan bahwa fanatisme terhadap doktrin politik dan moral tidak terjadi.
Berlin awalnya menyampaikan esai tersebut sebagai kuliah perdananya di Oxford pada 1958. Masalah politik besar saat itu adalah Perang Dingin dan, khususnya, masalah tentang sejauh mana pemerintah dapat memaksa rakyatnya sebagai bukti kepatuhan. Berlin menulis, “Mengapa saya (atau siapa pun) harus menaati orang lain? Mengapa tidak hidup sesuai keinginan saya? Perlukah saya menaati? Jika saya tidak menaati, apakah saya boleh dipaksa? Oleh siapa, dan sejauh mana, atas nama apa, dan demi apa?”
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas mau tak mau memerlukan pemahaman yang utuh tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan. Kebebasan, seperti kebahagiaan atau keadilan, adalah sesuatu yang diinginkan oleh semua orang. Tak seorang pun yang akan menentang kebebasan. Namun, tidak berarti semua orang setuju dengan apa yang dimaksud dengan kebebasan. Alasannya adalah, seperti keadilan, kebebasan memiliki banyak makna.
Berlin melihat adanya perbedaan pendapat antara ideologi komunis dan kapitalis mengenai makna kebebasan ini. Dalam Two Concepts of Liberty, Berlin membedakan antara dua pengertian kebebasan: kebebasan negatif dan kebebasan positif.
Kebebasan Negatif
Kebebasan negatif adalah konsep yang berhubungan dengan pertanyaan berikut, “Sampai di mana batas subjek—seseorang atau sekelompok orang—diizinkan atau dibiarkan melakukan atau menjadi apapun yang ia inginkan, tanpa campur tangan orang lain?” Kebebasan negatif adalah kebebasan dari campur tangan luar. Kamu bebas secara negatif sejauh orang lain tidak membatasi apa yang ingin kamu lakukan. Jika orang lain mencegahmu melakukan sesuatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka mereka telah membatasi kebebasan negatifmu.
Berlin menekankan bahwa hanya batasan yang diberlakukan oleh orang lain sajalah yang dihitung sebagai pembatasan terhadap kebebasan negatif. Pembatasan karena sebab-sebab alamiah tidak dihitung, seperti fakta bahwa saya tidak dapat terbang. Ini adalah pembatasan karena sebab-sebab alamiah tetapi bukan pembatasan kebebasan negatif. Kebebasan negatif hanya berlaku untuk situasi di mana keinginan saya digagalkan “oleh manusia lain, secara langsung atau tidak langsung, dengan atau tanpa niat untuk melakukannya.”
Hampir semua orang setuju bahwa kita harus menerima beberapa batasan atas kebebasan negatif yang kita miliki jika kita ingin terhindar dari kekacauan. Semua negara mengharuskan warganya untuk mematuhi hukum dan peraturan yang dirancang untuk membantu mereka hidup bersama dan membuat agar sistem sosial berfungsi dengan baik.
Kita menerima batasan atas kebebasan kita tersebut sebagai bayaran atas manfaat yang kita terima, seperti kesejahteraan, pendidikan, keamanan, dan sebagainya. Namun begitu, sebagian besar dari kita juga berpikir bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh diatur. Misalnya, apakah negara harus membatasi apa yang boleh kita katakan atau buku apa yang boleh kita baca?
Menurut mereka yang membela konsepsi negatif tentang kebebasan, semakin luas cakupan aktivitas yang dapat kita lakukan sesuka hati, semakin bebas pula kita. Tentu saja, kita tidak dapat memiliki kebebasan negatif tanpa batas, karena hal itu pada saat yang sama juga akan memungkinkan kita mencampuri kebebasan orang lain. Dengan demikian, kebebasan negatif kita perlu dibatasi untuk memastikan kebebasan orang lain—dan sebaliknya.
Jika kita memang ingin menjaga kebebasan negatif, tujuannya adalah untuk memastikan jumlah kebebasan yang setara dan substansial—bukan dengan melepaskan kebebasan tersebut sebebas-bebasnya, sebab itu akan menganggu tatanan dan sistem sosial yang ada. Kaum liberal berbeda pendapat tentang di mana tepatnya batas-batas kebebasan itu berada, namun begitu mereka semua menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa “sebagian dari keberadaan manusia harus tetap independen dari lingkup kontrol sosial.”
Kebebasan Positif
Gagasan tentang kebebasan positif adalah yang berhubungan dengan pertanyaan: “Apa, atau siapa, yang menjadi sumber kendali atau campur tangan yang dapat menentukan seseorang untuk melakukan, atau menjadi, ini daripada itu?” Sayangnya, definisi ini agak kabur. Kita memerlukan penjelasan lebih lanjut. Individu memiliki kebebasan positif, menurut Berlin, “asalkan jawaban untuk ‘Siapa yang akan memerintah saya?’ adalah seseorang atau sesuatu yang dapat saya wakili sebagai milik saya sendiri.”
Maksudnya, kebebasan positif adalah tentang mengendalikan takdir sendiri. Menjadi bebas secara positif berarti menjadi tuan atas diri sendiri, bertindak secara rasional dan bertanggung jawab. Kebebasan ini mungkin tampak seperti padanan dari kebebasan negatif; saya mengendalikan diri saya sejauh tidak ada orang lain yang mengendalikan saya.
Banyak konsepsi tentang kebebasan positif ini, yang seringkali diidentifikasi sebagai diri yang ‘sejati’ atau ‘batin’. Kebebasan, menurut pandangan ini, dicapai dengan mengikuti prinsip-prinsip rasional. Untuk mencapai kebebasan positif, pikiran kita perlu dilatih untuk berpikir rasional.
Kontras antara Dua Kebebasan
Misalnya, seorang pecandu narkoba yang tidak dapat mengendalikan tindakannya karena berada di bawah pengaruh narkoba. Hal ini membuatnya tidak memiliki kebebasan positif (yaitu, bertindak secara rasional demi kepentingan dirinya sendiri) meskipun kebebasan negatifnya tidak dibatasi (tidak ada yang memaksanya untuk mengonsumsi narkoba).
Dalam kasus seperti itu, Berlin mencatat bahwa seseorang baru dikatakan bebas apabila rasionalitasnya mendominasi tindakannya. Jika klaim Berlin ini benar, maka kita mungkin bisa membuat seseorang menjadi lebih bebas dengan cara memaksanya. Misalnya, jika kita mencegah seorang pecandu mengonsumsi narkoba, kita dapat membantunya mendapatkan kebebasan positifnya. Dengan kata lain: apabila kita membatasi kebebasan negatifnya, kita akan meningkatkan kebebasan positifnya.
Sayangnya, mudah untuk melihat bagaimana pandangan ini dapat disalahgunakan untuk membenarkan intervensi penguasa yang salah arah. Berlin berpendapat bahwa kesenjangan antara kebebasan positif dan negatif—dan risiko penyalahgunaannya—akan semakin meningkat jika kita mengidentifikasi diri yang rasional sebelumnya dengan institusi-institusi sosial (suku, ras, gereja, negara). Karena kita sebelumnya menyimpulkan bahwa individu hanya akan bebas ketika institusi sosial tersebut menekan keinginan individu (yang tidak rasional).
Apa yang membuat Berlin khawatir tentang konsepsi ini adalah bahwa hal itu akan membenarkan pemaksaan “yang salah arah” terhadap individu, dengan dalih kemaslahatan bersama. Lebih parahnya lagi adalah, ketika hal ini terjadi, pemaksaan tidak lagi dilihat sebagai pemaksaan sama sekali, tetapi sebagai pembebasan. Dan tentu saja segala protes terhadap pemaksaan tersebut akan dianggap sebagai ekspresi dari diri yang tidak rasional, sama seperti keinginan pecandu untuk mendapatkan kebebasannya mengonsumsi narkoba. Berlin menyebut ini sebagai ‘monstrous impersonation’, yang memungkinkan penguasa “mengabaikan keinginan sebenarnya dari manusia atau masyarakat, dengan menggertak, menindas, menyiksa mereka atas nama diri yang rasional.”
Berlin membayangkan bagaimana konsep kebebasan semacam itu disalahgunakan oleh rezim totaliter Nazi Jerman dan Stalinis Rusia. Namun begitu, mengunggulkan kebebasan positif tidak muluk salah. Sebab kebebasan negatif juga dapat disalahgunakan. Beberapa orang mungkin membutuhkan bantuan untuk mengetahui apa yang terbaik bagi mereka, dan kita percaya bahwa negara bertanggung jawab untuk membantu mereka mencari tahu hal tersebut. Inilah alasan mengapa pendidikan itu wajib. Kita mengharuskan anak-anak untuk bersekolah (yang pada dasarnya sangat membatasi kebebasan negatif mereka) karena kita percaya itu adalah yang terbaik untuk mereka.
Kita percaya bahwa membiarkan anak-anak bebas melakukan apa pun yang mereka mau, sama saja dengan menelantarkan atau melecehkan mereka. Dalam kasus orang dewasa juga seperti itu. Negara memiliki tanggung jawab untuk membantu warganya menjalani kehidupan yang kaya dan sejahtera, melalui program budaya, Pendidikan, dan kesehatan. Paradoksnya adalah kebutuhan kita terhadap bantuan semacam itu membuat kita rentan terhadap polarisasi media, apalagi di tengah gempuran pasar bebas saat ini, di mana media terus-menerus menggoda kita untuk menuruti selera kita yang ‘tidak rasional’, misalnya konsumerisme.
Tentu saja, bagi saya, hal ini menimbulkan banyak pertanyaan lebih lanjut. Apakah sistem pendidikan kita saat ini benar-benar untuk kepentingan anak-anak dan merupakan hal yang terbaik bagi mereka—ataukah itu hanya cara penguasa untuk menjadikan mereka sebagai produk yang memiliki nilai guna, baik secara sosial maupun ekonomi?
Siapa yang memutuskan apa yang dianggap sebagai kehidupan terbaik? Apakah segala bentuk pemaksaan dapat diterima? Jika tidak, pemaksaan apa yang dibolehkan dan siapa yang membolehkan? Ini adalah pertanyaan yang, sependek pengetahuan, belum Berlin selesaikan. Namun begitu, Berlin telah membantu kita dalam membedakan antara kebebasan negatif dan positif.
Konsepsi Kebebasan yang Harus Dipilih
Kebebasan positif memberi jalan bagi penguasa untuk memaksa orang lain atas nama diri yang rasional. Dengan kata lain, kebebasan positif didasarkan pada penolakan pluralisme nilai karena kebebasan positif percaya bahwa apa yang baik bagi diri yang rasional maka baik pula bagi diri yang rasional lainnya. Berlin menganggap gagasan bahwa keadaan di mana semua nilai manusia terpenuhi tidak lebih dari sekadar khayalan metafisik.
Bertentangan dengan apa yang diyakini oleh kaum utilitarian dan penganut monisme nilai lainnya, bagi Berlin tidak ada skala universal yang dapat digunakan untuk mengukur semua nilai, dan memaksimalkan hasilnya. Sebaliknya, nilai-nilai kita berada dalam konflik yang tidak berakhir. Memilih untuk mengejar satu nilai (lebih banyak kesetaraan, atau lebih banyak keadilan) pasti akan melibatkan pengorbanan dengan nilai-nilai lain (misalnya kebebasan).
Justru karena nilai-nilai kita berbenturanlah yang membuat kita menghargai kebebasan untuk memilih. Dengan kata lain, kita perlu melindungi kebebasan negatif karena tidak ada utopia di mana suatu nilai—serasional apa pun itu—berlaku untuk semua orang. Memilih dan mempertentangkan nilai-nilai merupakan bagian integral dari kondisi manusia. Tidak seperti konsepsi positif tentang kebebasan, kebebasan negatif menghargai aspek kondisi manusia ini karena ia tidak bertujuan untuk memaksa kita untuk menekan aspek yang tidak dapat dihindari demi tujuan imajiner yang berpotensi merusak.
Referensi:
Brockliss, Laurence, (ed.) dkk, 2016, Isaiah Berlin and the Enlightenment, Oxford University Press: New York.
Buckingham, Will, (ed.) dkk, 2011, The Philosophy Book: Big Ideas Simply Explained, DK Publishing: New York.
Cherniss, Joshua, (ed.) dkk, 2018, The Cambridge Companion to Isaiah Berlin, Cambridge University Press: New York.
Category : filsafat
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-8 Desember 2024