Fikih yang Menyapa Realitas: Menggali Teologi Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh

slider
06 Oktober 2025
|
1974

Dalam realitas sosial Indonesia, agama tidak pernah sekadar urusan batin dan ibadah personal. Ia selalu berkelindan dengan dinamika masyarakat: kemiskinan yang struktural, ketidakadilan ekonomi, kesenjangan pendidikan, serta marginalisasi kelompok lemah. Agama bisa menjadi sumber etika publik yang mendorong solidaritas dan keadilan, tetapi juga bisa terjebak menjadi simbol formal tanpa daya transformatif.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana Islam dapat berfungsi sebagai kekuatan sosial yang relevan, bukan hanya sebagai doktrin normatif yang terlepas dari problem nyata?

KH. Mohammad Achmad Sahal Mahfudh mencoba menjawab pertanyaan itu melalui gagasan “fikih sosial”. Bagi Kyai Sahal, fikih bukanlah “museum hukum” yang beku, melainkan instrumen dinamis untuk menjawab tantangan zaman. Dengan menafsirkan fikih dalam konteks sosial, Kyai Sahal menghadirkan teologi sosial yang menegaskan bahwa beragama berarti juga memperjuangkan keadilan, melindungi kaum lemah, dan menata kehidupan bersama secara manusiawi. Dengan pendekatan ini, Islam ditampilkan bukan hanya sebagai ritus, tetapi juga sebagai praksis sosial yang menyentuh realitas kehidupan sehari-hari.

Fikih yang Menyapa Realitas

Kyai Sahal (1937-2014)—seorang ulama kharismatik kelahiran Kajen, Pati, Jawa Tengah—menolak reduksi fikih sebagai perangkat aturan yang steril dari dinamika masyarakat. Fikih adalah “bahasa etika sosial” yang harus berbicara pada problem kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.

Dalam Nuansa Fikih Sosial Kyai Sahal menulis, “Fikih sosial tidak sekadar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih, sebagaimana cara pandang fikih yang lazim kita temukan, tetapi fikih sosial juga menjadikan fikih sebagai paradigma pemaknaan sosial” (MA. Sahal Mahfudh, 2011: xxxvi).

Secara filosofis, pendekatan ini adalah usaha untuk membongkar bekuan tradisi agar hidup kembali. Teks agama tetap dihormati, tetapi teks tidak boleh dikeramatkan sehingga kehilangan daya transformasi. Kyai Sahal menegaskan bahwa, “Fikih harus dibaca dengan mempertimbangkan maqashid al-shariah (tujuan-tujuan syariat), terutama keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap kaum lemah” (MA. Sahal Mahfudh, 2011: xxxiv).

Dengan demikian, fikih sosial Kyai Sahal menegaskan bahwa agama tidak boleh berhenti pada tataran simbol dan ritual, melainkan harus hadir sebagai kekuatan moral yang membela kaum lemah dan menegakkan keadilan. Inilah warisan intelektual Kyai Sahal yang relevan hingga kini, mengingat tantangan sosial bangsa Indonesia terus menuntut hadirnya agama yang membumi, kritis, dan transformatif.

Teologi Sosial: Agama sebagai Agenda Keadilan

Gagasan fikih sosial yang digagas Kyai Sahal sesungguhnya berangkat dari apa yang disebut teologi sosial (MA. Sahal Mahfudh, 2011: 22). Sebab teologi ini menekankan bahwa beragama tidak cukup berhenti pada ibadah ritual an sich, melainkan harus menyentuh kehidupan masyarakat. Karena bertolak dari pengalaman nyata manusia, pendekatan ini kerap disebut “teologi dari bawah.” Dengan begitu, teologi sosial menjadi jalan untuk membaca iman lewat realitas hidup sehari-hari, sehingga ajaran agama tetap membumi dan relevan dengan dinamika sosial yang terus berubah (Armada Riyanto, dkk., 2020: 264).

Kyai Sahal menegaskan bahwa, “Dimensi sosial dari ajaran agama adalah ruh yang menjadikan ibadah tidak berhenti pada aspek ritual, tetapi juga melahirkan kepedulian terhadap penderitaan orang lain” (MA. Sahal Mahfudh, 2011: 42).

Berangkat dari pandangan ini, Kyai Sahal selalu menekankan pentingnya agenda keadilan sosial. Agama tidak boleh direduksi menjadi sekadar simbol formalitas atau instrumen legitimasi kekuasaan. Sebaliknya, agama harus tampil sebagai kekuatan moral yang mampu mengoreksi struktur sosial yang timpang sekaligus mendorong lahirnya perubahan menuju tatanan yang lebih adil dan manusiawi.

Dari Pesantren ke Ruang Publik

Sebagai kiai pesantren yang lama berkecimpung di Pati, Jawa Tengah, Kyai Sahal membuktikan bahwa fikih sosial bukan sekadar teori. Terbukti dari membangun model pemberdayaan masyarakat berbasis pesantren: koperasi, program kesehatan, lembaga pendidikan, hingga pelatihan ekonomi produktif (Jamal Ma’mur Asmani, 2015: 146-148). Dengan cara itu, pesantren bukan hanya pusat transmisi ilmu agama, melainkan juga motor penggerak perubahan sosial.

Keunikan pemikiran Kyai Sahal terletak pada keberhasilannya menggeser paradigma pesantren dari sekadar “penjaga tradisi” menuju agen transformasi sosial. Dalam artian tidak menafikan tradisi klasik Islam, tetapi justru menghidupkannya kembali dengan memberi ruang aktualisasi dalam konteks modern. Di sinilah peran teologi sosial yang Kyai Sahal gagas menemukan relevansinya, yakni sebagai jembatan yang menghubungkan nilai-nilai normatif agama dengan dinamika kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan demikian, pesantren diposisikan sebagai pusat spiritualitas sekaligus pusat inovasi sosial yang menegaskan fungsi agama bukan hanya di atas mimbar, melainkan juga di tengah denyut kehidupan masyarakat.

Agenda Keadilan yang Belum Selesai

Pemikiran Kyai Sahal Mahfudh terasa semakin relevan di tengah realitas sosial Indonesia kontemporer yang masih diwarnai ketidakadilan struktural. Ketimpangan ekonomi, praktik korupsi yang merajalela, serta marginalisasi masyarakat kecil menjadi tantangan serius yang menggerogoti sendi-sendi keadilan. Dalam kondisi demikian, gagasan fikih sosial hadir bukan sekadar sebagai wacana intelektual, melainkan sebagai panggilan moral agar agama tidak hanya menenangkan hati, tetapi juga menegakkan keadilan.

Agenda besar yang ditawarkan Kyai Sahal adalah mengembalikan fungsi agama pada ruang publik, sehingga ia tidak hanya menjadi simbol sakral atau instrumen legitimasi, melainkan kekuatan etis yang membela kaum lemah, mengoreksi penguasa yang zalim, dan membangun tatanan masyarakat yang lebih adil, egaliter, dan manusiawi. Inilah inti dari teologi sosial, agama yang hidup dan dinamis, membumi dalam denyut kehidupan nyata, serta mampu mengubah realitas menuju masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.

Penutup

Fikih sosial Kyai Sahal Mahfudh menegaskan bahwa agama tidak boleh berhenti pada ruang privat dan ritual semata, melainkan harus hadir di tengah problem sosial yang nyata. Dengan menjadikan teologi sosial sebagai landasan, Kyai Sahal mengajak umat untuk melihat agama sebagai energi moral yang membela kaum lemah, mengoreksi kekuasaan yang zalim, serta menata masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Dalam pandangan ini, agama bukan sekadar kumpulan doktrin atau simbol formalitas, tetapi sumber etika publik yang mampu menjawab tantangan zaman.

Namun, gagasan tersebut sekaligus menyimpan kritik bagi praktik keberagamaan kita hari ini. Di tengah ketimpangan sosial, korupsi, dan marginalisasi yang masih mengakar, fikih sosial menuntut keberanian umat Islam untuk menghidupkan kembali peran agama di ruang publik. Pertanyaannya: apakah pesantren, ormas Islam, dan masyarakat Muslim siap melanjutkan agenda transformasi ini? Jika iya, maka warisan pemikiran Kyai Sahal Mahfudh akan terus hidup sebagai inspirasi agama yang membumi, kritis, dan transformatif; jika tidak, agama berisiko terjebak dalam ritus tanpa makna, kehilangan daya ubah, dan jauh dari cita-cita keadilan sosial.

Referensi:

Mahfudh, MA. Sahal. 2011. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS.

Riyanto, Armada, dkk. 2020. Berteologi Baru untuk Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Asmani, Jamal Ma’mur. 2015. Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh; Elaborasi Lima Ciri Utama. Jakarta: Elex Media Komputindo.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Mizanul Akrom

Penulis adalah Wakil Sekretaris Pengurus GP Ansor Kab. Kebumen-Jawa Tengah Masa Khidmat 2024-2028