dr. Soetomo: Membangunkan Jiwa Bangsa Menuju Indonesia Mulia

slider
14 November 2025
|
63

dr. Soetomo (1888–1938), seorang dokter dan pendiri Boedi Uetomo (1908), adalah salah satu tokoh pergerakan nasional yang pemikirannya melampaui masanya. Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, ia menyadari bahwa tantangan terbesar bangsa Indonesia bukanlah sekadar mengusir penjajah secara fisik, melainkan membangunkan jiwa bangsa yang telah lama tertidur oleh penderitaan penjajahan. Pemikiran ini menempatkan perjuangan kebangsaan bukan hanya pada dimensi politik dan militer, melainkan pada dimensi psikologis dan spiritual.

Menurut dr. Soetomo, membangunkan pikiran bangsa mungkin sulit, tetapi membangunkan jiwa jauh lebih sulit lagi.[1] Penjajahan dalam tempo berkelanjutan yang dirasakan bangsa ini telah menciptakan mental yang rendah diri (inferiority complex) di hadapan bangsa asing, menjatuhkan harga diri, dan menidurkan kemauan untuk memperbaiki nasib.[2] Akibatnya, lahir mental pasif, lari dari kebebasan dan tanggung jawab, serta terjebak dalam mentalitas konsumtif, yaitu hanya menjadi pengguna dari segala yang diproduksi oleh bangsa lain.

Tiga Pilar Strategis Pembangkitan Jiwa

Dalam pandangan dr. Soetomo, proses membangunkan kembali jiwa bangsa harus dilakukan melalui tiga pilar utama yang menyentuh aspek kesadaran diri, pendidikan karakter, dan persatuan.

Pilar I: Kesadaran Diri dan Kekuatan Batin (Self-Awareness)

dr. Soetomo menegaskan bahwa bangsa yang tidak mengenal dirinya, atau tidak insaf akan jati dirinya sendiri, tidak mungkin dapat berdiri tegak apalagi melangkah dengan pasti.[3] Pilar pertama ini adalah proyek pembangunan kesadaran diri (self-awareness) dan harga diri (self-esteem). Kesadaran diri ini harus diawali dengan menggeser fokus dari materialisme ke kekuatan batin.

Di tengah zaman yang serba menyembah keduniawian, banyak orang, termasuk kaum terpelajar dan cendekiawan, beranggapan bahwa semua daya upaya dan pekerjaan hanya timbul dari kekuatan lahiriah belaka. dr. Soetomo menyayangkan fokus yang berlebihan pada materi, infrastruktur, atau fasilitas di luar diri. Padahal, kekuatan batin, semangat yang pantang menyerah, dan keseriusan untuk mencapai sesuatu adalah kunci.

Ia berpendapat bahwa jika batin sudah kuat, tangguh, dan semangat, tidak ada yang tidak mungkin. Kekuatan batin merupakan kekuasaan tersembunyi yang dapat diibaratkan “bisa memindahkan gunung.” Oleh karena itu, langkah pertama kebangkitan adalah bereskan dulu jiwa (mental) kita; bila jiwa kita beres, mengurus materi akan jauh lebih gampang.

Pilar II: Pendidikan Budi Pekerti (Character Education)

Pilar kedua adalah pendidikan, yang disebut dr. Soetomo sebagai obornya jiwa yang menyalakan semangat kebangsaan. Fungsi pendidikan yang paling utama menurutnya adalah penanaman karakter dan budi pekerti. Ia mengeluarkan adagium terkenal, “Kemajuan tanpa budi pekerti berarti bencana.”[4]

Konsep ini menekankan prinsip adab fauqol ilm (adab di atas ilmu), di mana moralitas dan tanggung jawab sosial harus didahulukan. Ilmu dan kecanggihan teknologi tanpa moral hanya akan menjadi alat untuk keserakahan, keangkuhan, dan kehancuran. Pendidikan yang ideal harus melatih akal, rasa, dan karsa (kehendak) secara simultan agar melahirkan manusia utuh yang cerdas, bijaksana, dan berperikemanusiaan.[5]

Dalam konteks pendidikan karakter yang efektif, dr. Soetomo secara spesifik mencontohkan model Pondok Pesantren. Ia memuji sistem pesantren disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, egalitarianisme, yaitu mempersatukan anak-anak dari segala lapisan (tani, saudagar, bangsawan) dalam satu pondok dengan pimpinan dan gaya hidup yang sama, sehingga menanamkan rasa persatuan.

Kedua, kemandirian, terlihat dari alumni pesantren lebih siap hidup di berbagai lapangan pekerjaan dan bersifat merdeka, tidak hanya mencari “pemburuhan” (pegawai/buruh) seperti para siswa lulusan sekolah kolonial.

Selain itu, penting bagi guru untuk mengajar sepenuh hati, tanpa terikat penuh oleh pertimbangan materialisme, karena keuntungan terbesar bukan pada gaji, tetapi pada generasi yang dididik.[6]

Pilar III: Persatuan dan Gamelan Kebangsaan

Pilar ketiga adalah persatuan dan gotong royong, yang diistilahkan dr. Soetomo sebagai paduan tenaga dan jiwa. Bangsa ini akan bangkit jika bersatu, tidak tercerai berai oleh suku, agama, atau kepentingan pribadi. Untuk mengilustrasikan persatuan dalam aksi, dr. Soetomo menggunakan analogi gamelan.

dr. Soetomo berpendapat bahwa jika segala kewajiban dilakukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya (pakar) dan mengerti kewajibannya (ritme dan waktu bermain), hasilnya akan melahirkan lagu yang indah. Kehidupan berbangsa juga demikian, mahasiswa menjadi mahasiswa terbaik, petani menjadi petani terbaik, presiden menjadi presiden terbaik. Semua ahli dalam perannya dan bermain secara harmonis.

Persatuan ideal harus mencakup lima aspek disebut dr. Soetomo sebagai “Panca Eka” (Satu Lima) yaitu, eka bangsa (kesadaran sosial), eka bahasa (kesadaran kultural), eka tanah air (kesadaran geografis emosional), eka pemerintah (kesadaran politik), dan eka cita-cita (kesadaran moral/spiritual). Jika lima hal ini bersatu, maka jiwa bangsa telah utuh dan bangkit.

Visi Jangka Panjang: Dari Merdeka Menuju Mulia

Pemikiran dr. Soetomo menempatkan perjuangan pada tujuan yang lebih besar daripada sekadar kemerdekaan. Seperti terlihat dari cita-cita dari Parindra (Partai Indonesia Raya) yang didirikan dr. Soetomo adalah mencapai “Indonesia mulia”.[7] Menurutnya, kemerdekaan hanyalah syarat atau jembatan, bukan tujuan akhir. Bung Karno sendiri menyebutnya sebagai “Jembatan Emas”.

Jika perjuangan berhenti di merdeka, maka bangsa masih harus berjuang lebih keras untuk memperoleh kemuliaan, yaitu kesejahteraan, kemakmuran, dan perbaikan keadaan rakyat secara ekonomi dan sosial. Kemuliaan adalah cita-cita yang lebih jauh jangkauannya daripada sekadar kemerdekaan politik.

Di sisi lain, dr. Soetomo juga menekankan pentingnya kepemimpinan regeneratif. Ia mengkritik pemimpin yang hanya ingin ditaati, takut kehilangan pengaruh, dan tidak menyiapkan generasi penerus.

dr. Soetomo mengatakan, “Pemimpin yang tidak melahirkan pemimpin baru bukanlah pemimpin. Pemimpin semacam itu telah kandas dengan pimpinan.”[8] Tugas pemimpin sejati adalah mendidik rakyat agar sanggup mengatur dan memerintah dirinya sendiri, bukan hanya memanfaatkan atau memanipulasi demi mempertahankan status quo.

Terakhir, kemandirian ekonomi adalah pilar penopang kemuliaan. Ia menegaskan, selama ekonomi bangsa masih dipegang orang lain, selama itu pula bangsa hanya akan menjadi buruh di negeri sendiri. Perjuangan politik dan ekonomi harus saling berkaitan: politik harus memimpin untuk menyejahterakan ekonomi, karena rakyat yang lapar tidak akan bisa diajak berpolitik tingkat tinggi.

Penutup

Warisan pemikiran dr. Soetomo, yang melahirkan Boedi Uetomo, adalah cetak biru untuk kebangkitan nasional yang holistik. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati berawal dari kesadaran batin, didukung oleh pendidikan karakter yang kuat, dan disempurnakan oleh persatuan yang harmonis. Melalui ketiga pilar ini, bangsa Indonesia akan mencapai cita-cita tertinggi, yaitu Indonesia mulia.

Referensi:

Bachtiar, Harsja W. Siapa Dia?: Profil Sejumlah Tokoh Kancah Politik. Jakarta: Djambatan, 2004.

Soetomo. Kenang-Kenangan Dokter Soetomo. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Mangkunegara, A. P. Filsafat Kebangsaan: Konsep Diri dan Harga Diri Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.

Said, Darwis. Peran Guru dalam Pergerakan Nasional. Jakarta: Gramedia, 2010.

 

[1] Harsja W. Bachtiar, Siapa Dia?: Profil Sejumlah Tokoh Kancah Politik. Jakarta: Djambatan, 2004, hlm. 72.

[2] Mangkunegara, A. P. Filsafat Kebangsaan: Konsep Diri dan Harga Diri Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018, hlm. 48.

[3] Soetomo, Kenang-Kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 101.

[4] Soetomo, Kenang-Kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 135.

[5] A. P, Mangkunegara, Filsafat Kebangsaan: Konsep Diri dan Harga Diri Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018, hlm. 152.

[6] Darwis Said, Peran Guru dalam Pergerakan Nasional, Jakarta: Gramedia, 2010, hlm. 210.

[7] Harsja W. Bachtiar, Siapa Dia?: Profil Sejumlah Tokoh Kancah Politik. Jakarta: Djambatan, 2004, hlm. 78

[8] Soetomo, Kenang-Kenangan Dokter Soetomo. Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 250.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Alfi Sahrin Al Gulam Lubis

Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang magang di Lini Media Masjid Jendral Sudirman