Argumen Ontologis St. Anselmus dan Kritik Atasnya
Di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang, sebagian orang menganggap tidak ada ruang lagi bagi kepercayaan akan Tuhan. Orang-orang mulai ragu terhadap adanya entitas transenden yang disebut Tuhan, karena kini segala fenomena yang terjadi di dunia dapat dijawab dan dijelaskan secara ilmiah melalui ilmu pengetahuan.
Namun, adanya fakta tersebut tidak serta merta membuat kepercayaan akan Tuhan luntur total. Diskursus mengenai Tuhan masih menarik minat para pemikir kontemporer. Argumen-argumen dari era klasik maupun era pertengahan untuk membuktikan keberadaan-Nya, masih dipertahankan dan belum kehilangan relevansinya hingga kini.
Salah satu argumen klasik yang masih menjadi perdebatan dan memiliki daya tarik, adalah argumen ontologis. Meski sudah berusia sekian abad dan sering dianggap lemah, argumen satu ini sebetulnya memiliki kekuatan dan pengaruh yang sangat besar hingga memengaruhi para pemikir kontempoter. Apa yang dimaksud dengan argumen ontologis? Siapakah pencetusnya? Dan di manakah kekuatan dan kelemahan argumen tersebut?
Tuhan sebagai Wujud yang Paling Besar
Salah satu cara menjelaskan argumen ontologis adalah membedakannya dengan argumen-argumen tradisional lainnya, seperti argumen kosmologis, kontingensi, dan teleologis. Jika diamati, argumen-argumen tersebut didasarkan dari pengamatan mengenai fenomena-fenomena alam hingga sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Secara sederhana, argumen-argumen ini berusaha membuktikan Tuhan secara a posteriori atau melalui pengalaman.
Berbeda dengan argumen-argumen lainnya yang bersifat a posteriori, argumen ontologis bersifat a priori karena pembuktiannya didasarkan pada kontemplasi atas ide tentang Tuhan, hingga mencapai kesimpulan bahwa eksistensi-Nya benar-benar ada. Dengan kata lain, argumen ontologis mencukupkan diri telah membuktikan eksistensi Tuhan hanya karena konsep tersebut ada dalam pikiran.
Ketika berbicara mengenai argumen ontologis, nama pemikir yang sering dianggap sebagai pencetusnya adalah St. Anselmus (1033-1109), filsuf dan Uskup Agung Canterbury. Meski sering disebut bahwa Anselmus memiliki pendahulu dalam hal argumen ontologis, seperti Plato dan St. Agustinus, tetapi Anselmus-lah yang berjasa merumuskan argumen ontologis secara sistematis, dalam karya monumentalnya berjudul Proslogion.
Dalam argumen ontologis, Anselmus mendefinisikan Tuhan sebagai aliquid quo nihil Maius cogitari non possit atau “sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak dapat dipikirkan”. Melalui frasa tersebut, Anselmus ingin mengatakan bahwa Tuhan adalah sesuatu atau wujud terbesar yang dapat dipikirkan manusia. Sehingga tidak ada wujud lain lagi yang bisa kita pikirkan, yang lebih besar dari-Nya.
Menurut John K. Roth dalam buku Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Anselmus percaya konsep Tuhan sebagai “sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak dapat dipikirkan” sudah tertanam secara intrinsik dalam diri manusia. Sehingga semua orang pasti memahami konsep tersebut, meskipun sebagian dari mereka mengingkarinya.
Untuk mendukung argumennya, Anselmus memberikan analogi mengenai seorang pelukis. Seorang pelukis tentunya memiliki gambaran terlebih dahulu mengenai apa yang akan ia lukis, tetapi ia belum memahami sesuatu dalam gambarannya itu ada sebelum melukisnya. Setelah ia melukisnya, ia pun akhirnya tahu bahwa gambaran tersebut memang benar-benar ada.
Ketika orang memahami ada sesuatu yang sangat besar, maka sesuatu tersebut pasti tidak hanya ada dalam ide, tetapi juga dalam realitas. Karena jika sesuatu yang paling besar itu hanya ada dalam pikiran, ia tidak dapat menjadi “sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak dapat dipikirkan”. Sangat kontradiktif, menurut Anselmus, jika seseorang memahami ada wujud yang paling besar dalam pikirannya, tetapi mengingkari adanya wujud tersebut dalam kenyataan.
Lebih lanjut, Anselmus mengklaim bahwa Tuhan adalah entitas yang non-eksistensinya mustahil. Artinya, Dia tidak dapat dibayangkan ketiadaan-Nya. Sebab, sebuah wujud yang non-eksistensinya secara logis mustahil, lebih besar daripada sebuah wujud yang non-eksistensinya secara logis mungkin.
Setelah menyatakan eksistensi Tuhan mustahil tidak ada, Anselmus memandang eksistensi-Nya bersifat niscaya dan tidak dapat binasa. Dari sini, ia mengklaim tidak hanya berhasil membuktikan eksistensi Tuhan, tetapi juga membuktikan ekstistensi-nya adalah pasti untuk membedakan-Nya dari wujud lain yang kita ketahui.
Harus diakui, di balik kesederhanannya, argumen ontologis Anselmus memiliki kekuatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun, jelas bahwa argumen ini juga memiliki banyak kelemahan yang dijadikan celah serangan oleh para pengkritiknya.
Kritik terhadap Argumen Ontologis
Sebagaimana argumen-argumen tradisional lainnya, argumen ontologis Anselmus juga tidak luput dari kritikan, baik dari pemikir sezaman maupun sesudahnya. Di sini, hanya akan membatasi pembahasan mengenai pengkritik argumen ontologis pada tiga tokoh, yaitu Gaunilo dari Marmoutier, Thomas Aquinas, dan Immanuel Kant.
Gaunilo dari Marmoutier (994-1083), merupakan biarawan Benediktin yang hidup sezaman dengan Anselmus. Dalam artikel berjudul How to Argue Graciously: Anselm of Canterbury and Gaunilo of Marmoutiers yang ditulis Graham Harter, Gaunilo pertama-tama mengajukan keberatan dengan menyatakan bahwa hanya karena sesuatu berada dalam pikiran kita, bukan berarti sesuatu itu memang memiliki eksistensinya di dunia nyata.
Gaunilo kemudian memberikan analogi yang cukup populer, yakni mengenai sebuah Pulau yang Hilang. Andaikan seseorang membayangkan ada sebuah pulau semacam itu, terletak di seberang lautan, dan memiliki tanah yang jauh lebih baik dari tanah lainnya, apakah pulau yang demikian benar-benar ada selain dalam imajinasi? Karena itu, membuktikan eksistensi sesuatu dari gambaran semata adalah kesia-siaan.
Pada argumen selanjutnya, Gaunilo menilai argumen ontologis lemah karena kita tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai konsep sebuah wujud yang lebih besar dari semua wujud. Ketika memahami konsep tersebut, tidak jelas apa yang harus dibayangkan. Menurutnya, salah satu syarat fundamental ketika hendak membuktikan eksistensi sesuatu, kita mesti memiliki pemahaman yang jelas terlebih dahulu tentangnya.
Tokoh selanjutnya, Thomas Aquinas (1225-1274), yang merupakan salah satu teolog dan filsuf besar Abad Pertengahan, mengajukan dua argumen untuk membantah argumen ontologis. Mengutip Roth, Aquinas mengatakan bahwa argumen tersebut lemah karena tidak semua orang setuju dengan pernyataan bahwa ada sebuah wujud yang lebih besar dari semua wujud.
Seandainya pun semua orang setuju bahwa ada sebuah wujud yang lebih besar dari yang dapat dipikirkan, sebuah konsep atau definisi tidak akan pernah mencukupi untuk membuktikan eksistensinya. Bantahan ini sama dengan yang dikemukakan Gaunilo di atas, bahwa sesuatu tidak bisa disimpulkan eksistensinya hanya karena ia berada dalam ide kita.
Belum berhenti sampai di sana, Aquinas mengatakan bahwa argumen ontologis menuntut proposisi “Tuhan ada” bersifat aksiomatik, dengan berdasarkan pada ide semata. Bagi Aquinas, sebuah proposisi terbukti secara aksiomatik, jika predikat atau sifat yang disandarkan pada subjek, terkandung di dalamnya. Sebelum mengetahui bahwa sebuah proposisi terbukti benar dengan sendirinya, kita harus memiliki pengetahuan atas esensi atau sifat subjek tersebut.
Hal ini mustahil kita terapkan kepada Tuhan, karena Aquinas percaya bahwa kita tidak akan pernah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas tentang-Nya. Selama masih hidup di dunia, manusia tidak akan memahami esensi atau sifat Tuhan sepenuhnya, kecuali hanya secara parsial. Maka, atas dasar itulah argumen ontologis Anselmus tertolak.
Kritik terakhir datang dari filsuf modern, Immanuel Kant (1724-1804), yang dikenal sebagai pelopor aliran kritisisme. Sebenarnya, Kant tidak hanya mengkritik argumen ontologis, tetapi juga argumen tradisional lainnya. Namun, meski menolak argumen-argumen tersebut, Kant menyodorkan argumen moral sebagai argumen yang memadai untuk membuktikan eksistensi Tuhan.
Perlu digarisbawahi di sini, bahwa sebetulnya ketika Kant mengkritik argumen ontologis, ia sedang mengkritik argumen versi Descartes ketimbang Anselmus. Namun, karena argumen ontologis keduanya tidak jauh berbeda, maka tidak terlalu keliru jika kritik Kant terhadap Descartes juga diarahkan kepada Anselmus.
Terhadap argumen ontologis, Kant mengkritiknya karena eksistensi bukanlah sebuah predikat yang kesimpulannya dapat ditarik dari ide mengenai sesuatu. Untuk menjelaskan bantahannya, sebagaimana dikutip dari Bertrand Russell dalam Sejarah Filsafat Barat, Kant mengambil contoh seratus keping uang logam. Menurut Kant, seratus keping uang logam yang ia bayangkan, semuanya memiliki predikat yang sama dengan seratus uang logam sesungguhnya.
Bagi Kant, sebagaimana dijelaskan Martinus Ariya Seta dalam tulisan “Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant”, eksistensi hanya dapat disimpulkan secara sintesis a posteriori, bukan analitis a priori. Dengan mengatakan bahwa sebuah konsep tidak dapat menghasilkan eksistensi, maka konsep hanyalah rekaan dari pikiran. Karena itu, ia tidak memiliki keharusan mutlak untuk menghasilkan aktualitas dari konsep tersebut.
Penutup
Meski dikritik, argumen ontologis tak pernah kehilangan signifikansinya. Ia tak dibuang dan ditinggalkan begitu saja. Berbagai kritikan yang dilayangkan pada argumen ontologis justru membuatnya semakin kuat, ibarat sebuah besi yang ditempa berkali-kali menjadikan bentuknya jauh lebih utuh.
Terbukti di zaman kontemporer ini, argumen ontologis tetap dipertahankan, dimodifikasi dan dikembangkan oleh sejumlah filsuf. Beberapa di antaranya seperti Norman Malcolm dan Alvin Plantinga, bisa dikatakan sebagai ahli waris argumen ontologis Anselmus dengan versi mereka masing-masing.
Dengan demikian, Tuhan masih memiliki ruang di dunia kontemporer yang semakin sekuler. Argumen ontologis mungkin tidak akan pernah menjadi bukti konklusif tentang keberadaan Tuhan dan akan terus diperdebatkan. Namun, argumen-argumen semacam itu tetap penting untuk memungkinkan manusia tidak kehilangan harapan dan terus terdorong mencari keberadaan-Nya.
Referensi:
Harter, Graham. 2019. “How to Argue Graciously: Anselm of Canterbury and Gaunilo of Marmoutiers” dalam https://etimasthe.com/2019/06/18/how-to-argue-graciously-anselm-of-canterbury-and-gaunilo-of-marmoutiers/ diakses pada 23 Juni 2025.
Roth, John K. 2018. Persoalan-persoalan Filsafat Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Russell, Bertrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Seta, Martinus Ariya. “Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant” dalam DISKURSUS. Vol. 15, No. 1, April 2016.
Category : filsafat
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-8 Desember 2024